Mataram, Literasi-Dalam berbagai event budaya, wisatawan masih cenderung sebagai penonton sebagaimana halnya mereka menyaksikan suatu pemandangan alam. Mereka belum terlibat sebagai orang yang berada di tengah-tengah lingkup budaya.
Sedangkan dalam ranah creative tourism yang berkembang sekarang ini, wisatawan memerlukan wahana interaksi dengan masyarakat lokal untuk menambah pengetahuan sehingga bisa memahami kearifan lokal budaya itu sendiri.
Dosen Sekolah Tinggi (STP) Mataram, DR.Made Suyasa, mengemukakan Lombok memiliki budaya unik yang tidak dimiliki daerah lain. Keunikan ini jadi daya tarik yang memerlukan kemasan agar produk budaya menjadi creative tourism.
“Ada sesuatu yang harus bisa didapatkan wisatawan dari aspek pengetahuan seperti kearifan yang tidak ada di tempat lain,” katanya.
Menurutnya, kunci pariwisata budaya berada pada masyarakat pemilik budaya itu sendiri, apakah mau atau tidak mengemas dengan baik. Karena, kadang budaya dikotraskan dengan agama. Ketika dibenturkan dengan agama, kata di, agak susah menyelamatkan budaya menjadi bagian dari daya tarik pariwisata.
Ia mengemukakan KLU berhasil memasarkan produk budaya karena punya keunikan adat dan situs budaya. Situs budaya menjadi penguat produk budaya. Sedangkan di Lotim seperti di Desa Lenek ada situs yang ada hubungannya dengan budaya. Karena itu, situs itu mesti diselamatan sebagai daya tarik dan pusat perhelatan budaya.
Persoalannya, lanjut Suyasa, banyak diantara aparat pemerintah yang tidak memahami tentang budaya. Semestinya, kata dia, jika ingin mengembangkan budaya, harus banyak melibatkan budayawan itu sendiri.
“Kalau pemeritah jalan sendiri dengan hanya jual produk, akan mengalami kesulitan di kemudian hari,” ujarnya seraya menambahkan bahwa hal terpenting adalah mengikutkan akademisi dalam membuat kemasan budaya. Akademisi banyak punya perbandingan di tempat lain yang akan bisa menjadi salah satu produk yang memberi inspirasi daerah lain.
Lombok memiliki keunikan disebabkan Lombok adalah arena pertemuan antara budaya Jawa dan timur.
Antara Jawa yang masih membawa Hindunya (pada masanya) dan timur dengan melayu dengan keislamannya yang sulit ditemukan di daerah lain.
Namun, dalam memasarkan produk budaya, lanjut Suyasa, pemilahan dengan agama sulit dilakukan karena kehadiran agama akan selalu berkolaborasi dengan budaya. Misal dalam perkawinan, ada dua yang dilihat yakni adat yang berjalan seperti adat ajigama.
“Kalau ingin mendudukkan budaya sebagai produk budaya untuk kepentingan industri pariwisata, budaya jangan disalahkan. Bahwa ada produk budaya untuk kepentingan pariwisata agar wiatawan paham terhadap budaya setempat,” paparnya.
Dalam kaitan ini, pemerintah mesti menyerahkan kepada yang punya budaya dulu, memilah mana yang bisa diperkenalkan kepada wisatawan dan mana yang tidak. Dalam satu ragkaian budaya, ada yang dibolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan.
“Harus fleksibel jika ingin memperkenakan produk budaya. Kalau tidak mau berbuat seperti itu, tidak akan pernah bisa “menjual” produk budaya,” cetusnya.
Sementara ini daerah yang sudah sanggup adalah Lombok Utara. Namun, diakui wisatawan masih jadi penonton dan belum terlibat sebagai pelaku. “Dengan hadirnya mahasiswa STP Mataram ke desa wisata seperti Karang Bajo, Senaru dan Bayan, masyarakat welcome memperkenalkan budaya,” katanya.
Pemerintah mesti serius dan melibatkan pelaku-pelaku budaya dan menyelamatkan orang yang masih paham tentang hal itu dengan melakukan identifikasi dan penelitian sehingga bisa membuat produk budaya yang bisa dikelola agar antara mayarakat dan pemerintah tidak terjadi benturan. ian