Oleh : Deddy Rahmat, S.Hut (Pemerhati UMKM NTB)
Produk Lokal Dari Sudut Pandang Etimologis
Saat ini, di NTB, sedang marak di linimasa dunia maya dan nyata mengenai “produk lokal”. Ada yang dalam bentuk Gerakan Bela dan Beli Produk Lokal, ada juga yang berbentuk regulasi dengan tema besar produk lokal. Bahkan yang sedang menjadi trending topic adalah sekelompok kawan-kawan muda di NTB yang menginisiasi lahirnya distributor khusus produk lokal.
Membawa nama yang tidak umum, Tunah Produk Lokal disingkat menjadi TAPOL. Entah apa yang merasuki kawan-kawan muda yang bisa jadi “kurang kerjaan” ini. Namun, mari kita hargai saja niat baik mereka, semoga waktu akan menguji eksistensi atas idealism mereka dan produk lokal. Terlebih lagi, binatang apa pula produk lokal ini sehingga menjadi isu yang terus hangat dalam pemerintahan Bang Zul dan Umi Rohmi di NTB ini ?
Membahas produk lokal pada prinsipnya membahas visi NTB Gemilang yang dicanangkan oleh Bang Zul – Umi Rohmi dalam periode kepemimpinan beliau berdua (2019-2023). Mengembangkan produk lokal ini merupakan sebuah hipotesis ilmiah yang dibangun oleh Duo Doktor tersebut sebagai rancang bangun strategi terbaik menuju NTB Gemilang. Dengan kata lain, jika ingin NTB Gemilang, marilah kembangkan produk lokal, disegala sektor, disegala lini, sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing. Jika ingin berinovasi, berinovasilah dalam koridor produk lokal, sehingga konsep produk lokal ini akan terus berkembang dan secara bertahap memberikan support terbaik dalam mencapai visi NTB Gemilang.
Menurut KBBI, definisi produk/pro·duk/ n 1 barang atau jasa yang dibuat dan ditambah gunanya atau nilainya dalam proses produksi dan menjadi hasil akhir dari proses produksi itu; 2 benda atau yang bersifat kebendaan seperti barang, bahan, atau bangunan yang merupakan hasil konstruksi; 3 hasil; hasil kerja. Dari definisi tersebut, dapat kita garis bawahi bahwa sebuah produk melibatkan proses olahan didalamnya. Olahan dari faktor input menjadi output barang dan jasa untuk meningkatkan nilai guna atau nilai tambahnya. Sementara kata lokal/lo·kal/ sendiri memiliki arti 1 n ruang yang luas: sekolah itu terdiri atas tujuh –; 2 a terjadi (berlaku, ada, dan sebagainya) di satu tempat, tidak merata; setempat: Jawatan Meteorologi dan Geofisika meramalkan bahwa besok akan turun hujan –; 3 a di suatu tempat (tentang pembuatan, produksi, tumbuh, hidup, dan sebagainya); setempat: kualitas tekstil produksi — sudah tidak kalah dengan produksi luar negeri.
Dari penjelasan diatas, dapat kita garis bawahi bahwa sebuah produk lokal adalah barang atau jasa yang dihasilkan melalui sebuah sebuah proses olahan untuk meningkatkan nilai tambah atau nilai gunanya yang dilakukan pada tempat tertentu. Hal ini mengandung makna bahwa apapun jenis produknya, selama proses pengolahannya dilakukan di tempat tertentu, masuk dalam definisi produk lokal, setidaknya menurut KBBI.
Asumsi diatas akan menarik kita pada proses terbentuknya sebuah produk. Ada proses olahan yang harus dilalui, dan faktor produksi yang terlibat, untuk meningkatkan nilai tambah atau nilai guna sebuah barang dan jasa. Dan semua istilah tersebut akan mengerucut pada satu aktifitas yang kita kenal dengan nama “industri”. Dengan kata lain, bahwa sebuah produk lokal, dapat didefinisikan sebagai sebuah sebuah produk barang dan jasa yang menjadi output (keluaran) dari industri yang dilaksanakan di suatu tempat tertentu.
Asumsi ini menarik, karena saat ini Pemprov NTB sedang menggalakkan industrialisasi sebagai salah satu program unggulan Bang Zul-Umi Rohmi. Dengan meletakkan pondasi dasar pada proses pengolahan sumberdaya alam di NTB untuk terus berinovasi mencari industri turunan baru dan memperkuat struktur industri yang sudah ada untuk menghasilkan produk yang bisa terus bersaing di pasar. Peningkatan nilai tambah sebuah bahan baku menjadi kunci utama dalam industrialisasi NTB yang selama ini digaungkan.
Jika menilik asumsi diatas, dapat dikatakan bahwa program industrialisasi NTB bertujuan untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya produk lokal. Semakin banyak, semakin bagus Tentunya dengan kualitas dan kuantitas yang terjaga, untuk menjaga manajemen rantai pasok sebuah produk. Asumsi ini menjadi jelas, dengan konsentrasi pada penggunaan peralatan dan mesin tepat guna untuk melakukan proses olahan tersebut. Peralatan dan mesin tersebut jelas menjadi salah satu faktor produksi yang menjadi kunci dalam menjaga peningkatan proses produksi sebuah produk barang atau jasa di NTB.
Kerangka pikir diatas menjadi penting, karena sebuah produk lokal yang notabene merupakan buah dari industrialisasi NTB menjadi sebuah opsi terbaik dalam menuju visi NTB Gemilang.
Produk lokal dan konservasi
Bicara soal produk lokal, sebagaimana asumsi diatas, mari kita sepakati bahwa proses olahan tersebut berasal dari sumberdaya alam yang ada di Provinsi NTB yang kita cintai ini. Sebagaimana kita sama-sama pahami, bahwa NTB ini merupakan wilayah yang sangat kaya dengan sumberdaya alam. Memiliki dua gunung besar yang telah menjadi bagian dari sejarah dunia, Rinjani dan Tambora, menjadikan wilayah NTB menjadi salah satu wilayah paling subur di Indonesia. Mungkin, Koes Plus mengutip lirik lagunya, “tanah kita ini memang tanah surga”, bisa jadi mengambil NTB sebagai salah satu inspirasinya. Tidak perlu disebut satu persatu, karena terlalu banyak sumberdaya alam jika harus disebutkan satu persatu.
Pertanyaan paling penting justru, kemana potensi tersebut selama ini? Apakah memberikan dampak signifikan dalam perikehidupan masyarakat NTB? Jawabannya, bisa ya, bisa tidak. Ya, karena dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, mulai bermunculan beraagam produk olahan yang berasal dari sumberdaya alam di NTB. Sebut saja, Teh Kelor, Serbat Jahe, Keripik Pisang, Olahan Coklat, Susu Kuda Liar, Ayam Taliwang, Sate Rembiga, Madu Sumbawa, Permen Susu, Kopi Tambora, Kopi Tepal, Kopi Lombok, Biskuit Rumput Laut, Sabun Cuci Piring dan beragam olahan lainnya. Namun, bisa juga dikatakan belum memberikan dampak yang signifikan karena sebagian produk yang bisa dikategorikans ebagai produk lokal tersebut justru lebih populer di luar NTB dan secara nyata belum menjadi sebuah usaha yang benar-benar menjadi bagian dari perikehidupan masyarakat di NTB.
Bicara soal potensi sumberdaya, sepertinya kita sepakat bahwa ini adalah sebuah paradoks. Disatu sisi, kita percaya – dan memang fakta- bahwa NTB ini kaya akan sumberdaya alam, namun disisi lain, kerusakan akan sumberdaya alam tersebut jelas lebih menjadi porsi diskusi kita selama ini. Mari cermati, 10 tahun terakhir, mulai bermunculan berbagai olahan sumber daya alam NTB, namun secara bersamaan, bencana mulai mengintai di sekitar kita. Banjir, ancaman kekeringan, air yang semakin susah didapat, hutan yang semakin gundul, pembukaan lahan yang tidak terkendali, dan sederet jenis musibah lainnya justru menjadi bahan pertanyaan besar, kemana larinya impact dari semua olahan potensi sumberdaya alam NTB yang “katanya banyak” itu. Apakah “katanya banyak itu” hanya ada di atas kertas, atau memang benar-benar banyak sehingga mampu memberikan hasil (outcome) yang benar-benar signifikan untuk kehidupan masyarakat di NTB.
Rumusan masalahnya, jika sumber daya alam NTB memang banyak, tentu olahannya pun akan banyak. Dan jika olahannya banyak, tentunya akan menjadi bagian dari perikehidupan masyarakat NTB secara keseluruhan. Dan ini jelas bertentangan dengan fakta yang ada akan kerusakan lingkungan yang terjadi dalam satu dasawarsa terakhir. Karena dari sudut pandang konservasi lingkungan, jika sumberdaya alam tersebut memang melimpah dari segi kuantitas, maka lingkungan justru akan terjaga dengan bailk. Dari rumusan masalah tersebut, mari kita ambil hipotesis bahwa sumberdaya alam kita di NTB belum bisa mencapai skala ekonomis untuk dikembangkan menjadi sebuah produk olahan yang memberikan dampak signifikan bagi kehidupan masyarakat. Artinya, kebutuhan akan olahan sumberdaya alam yang begitu tinggi tidak dibarengi dengan ketersediaan potensi yang memang benar-benar banyak.
Menjawab hipotesis diatas, jawabannya jelas, mari menggalakkan kembali konservasi lingkungan. Mari memperbanyak sumberdaya alam kita di NTB dengan segala cara yang mungkin dilakukan. Mari Kembali menanam kopi, jahe, coklat, empon-empon dan segala jenis sumberdaya alam kita yang pernah ada. Untuk kemudian, mengolahnya menjadi segala macam produk lokal ala NTB. Inovasi jelas dibutuhkan disini, berbagai diversifikasi olahan bisa kita dapatkan dengan mudah melalui berbagai kanal sosial media di jaman internet ini. Implementasi Internet Of Thing (IoT) mari kita pahami bukan hanya sebagai proses olahan produk yang berbasis internet, namun mari menjadikan internet sebagai sumber inovasi untuk menghasilkan produk lokal yang beragam berbasis pada komoditas dan sumberdaya alam di NTB.
Upaya konservasi lingkungan merupakan salah satu upaya strategis untuk menjaga kebutuhan akan kuantitas sumber daya alam kita untuk dijadikan sebagai faktor input dalam membangun produk lokal yang berkualitas. Ini membuktikan bahwa dari segi konservasi lingkungan, produk lokal adalah salah satu jawabannya. Konservasi lingkungan identik dengan upaya tanam menanam dan memelihara sumberdyaa alam di NTB, jika sudah waktunya, olah hasilnya menjadi produk lokal, lahirkan produk yang inovatif, sehingga memiliki keunggulan komparatif dengan produk sejenis dari luar NTB. Asumsi ini kelihatannya sederhana, namun implementasinya tentu membutuhkan kerjasama dari seluruh pihak terkait.
Logika sederhana ini jellas menjadi sebuah premis dasar bahwa mengembangkan produk lokal, dengan salah satu faktor produksi sumberdaya alam yang ada di NTB jelas berkelindan erat dengan upaya konservasi lingkungan di NTB yang selama ini cenderung “ jalan di tempat”. Jika sumberdaya alam NTB melimpah melalui program konservasi, tentunya akan menjadi sebuah peluang strategis untuk kontinuitas pengembangan produk lokal di NTB. Dalam sebuah diskusi dengan salah satu penggiat rumput laut di NTB yang juga menjadi owner UMKM produk lokal olahan rumput laut di NTB, beliau menyampaikan bahwa kuantitas rumput laut di pesisir utara Pulau Sumbawa sudah semakin jauh berkurang, bukan karena pelaku usahanya yang menurun, justru karena faktor pengendapan pesisir pantai oleh lumpur dan tanah hutan yang terjadi karena kawasan hutan di wilayah hulu yang semakin gundul. Analisis sederhana ini tentu harus dibuktikan secara ilmiah tentu saja, namun sebagai sebuah hipotesis, tentu bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya karena lahir dari pengamatan panjang dari orang yang menghabiskan sebagian besar hidupnya menggeluti sektor olahan rumput laut di NTB.
Pastinya, masih banyak asumsi yang bisa dikembangkan terkait keterkaitan antara upaya konservasi lingkungan dengan pengembangan produk lokal. Namun, analsiis sederhana ini mencoba melihat keterkaitan konservasi lingkungan NTB sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan dan menjaga kontinuitas salah satu faktor produksi industri di NTB. Faktor kuantitas dan kontinuitas bahan baku tentu saja menjadi salah satu faktor paling penting dalam pengembangan produk lokal di NTB. Dan bahan baku tersebut jelas harus berasal dari NTB. Jika peluang ini terus dijalankan dengan konsisten, maka konservasi lingkungan jelas akan memberikan dampak yang signifikan dalam pengembangan produk lokal berbasis sumberdaya alam di NTB.
Produk lokal dan pemberdayaan perempuan
Selalu menarik membahas sebuah tema dengan melibatkan kata “perempuan” didalamnya. Maap, ini bukan bermaksud rasis gender. Hanya menegaskan, bahwa pengembangan produk lokal tentu saja sangat terkait dengan pemberdayaan perempuan di NTB.
Mari akui faktanya, bahwa NTB adalah salah satu provinsi di Indonesia yang menyumbang paling banyak Pekerja Migran Indonesia, 30.708 jiwa (BNP2TKI, 2019). Nomor empat di Indonesia, setelah Jatim, Jateng dan Jabar. Alasan ekonomi menjadi faktor nomor satu. Namun, dampak sosial yang ditimbulkan jelas tidak akan sebanding dengan seberapapun nilai ekonomi yang didapat. Jargon sebagai “pahlawan devisa” semakin menjadikan paradigma ini menjadi pembenaran atas apa yang telah terjadi. Sekali lagi, menurut penulis, menjadi TKW adalah ikhtiar untuk memperbaiki kehidupan ekonomi individu di NTB, namun menilik apa yang terjadi atas mereka, dan dampak sosial yang ditinggalkan jelas tidak akan sebanding dengan berapapun nilai uang yang didapat. Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di NTB – yang selama ini seperti gunung es – jelas membuktikan bahwa ada yang salah dalam tata kelola pemberdayaan perempuan di NTB. Boleh jadi kita akan bangga, jika perempuan NTB pergi ke luar negeri untuk bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi, atau menjadi seorang dengan penghargaan atas kapasitasnya, menjadi Board Of Direktor Facebook Incorporated misalnya, atau menjadi bagian dari Alibaba Team, atau menjadi teknisi kelas dunia pada Amazon atau menjadi seorang Duta Perempuan Internasional di lembaga internasional. Namun, jika menjadi “asisten rumah tangga”, dan jenis pekerjaan yang selama ini awam, atas alasan ekonomi, ayo lha, dimana nurani kita. Apakah sudah sebegitu kacaukah nurani kita sehingga membiarkan para sokoguru peradaban itu tersia-siakan di negeri sana? Kadang mereka pulang tanpa nama, tersia-siakan, mengenaskan, tanpa ada kejelasan atas siapa yang harus bertanggung jawab atas semua derita yang mereka alami. Mereka adalah bagian dari kesadaran kita, bisa jadi mereka adalah saudara kita, ibu dari beberapa orang anak, istri dari seorang suami, anak dari orang tua, atau mungkin mereka adalah anda sendiri yang saat ini sedang membaca tulisan ini. Sekali lagi, dampak sosial yang ditimbulkan jelas tidak akan sebanding dengan nilai ekonomi yang dihasilkan. Sekali lagi, ini paradoks, paradoks yang menjadi lingkaran setan, yang tidak akan pernah putus jika tidak ada niat baik untuk memutusnya.
Miris sekali memikirkan hal ini. Karena alasan ekonomi, jauh bekerja ke negeri nun jauh disana. Apakah NTB ini sudah tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi anak-anaknya sendiri? Sehingga harus jauh-jauh bekerja ke negeri nun jauh disana. Sulit untuk menjawab pertanyaan ini, karena semua Kembali ke pemahaman bai katas apa yang kita lakukan diatas dunia.
Mari membuka fakta, Provinsi NTB ini luasnya 2.015.000 ha (BPS NTB, 2020). Diatasnya berdiri tanah negara sebanyak 1.068.643,50 (BPS NTB, 2021) yang bernama kawasan hutan negara. Dengan rasio jumlah penduduk NTB mencapai 5,32 juta jiwa (Sensus Penduduk 2020), maka secara kepemilikan lahan, rata-rata penduduk NTB akan mendapat lahan kelola seluas +/- 20 are per orangnya. Baiklah, ini hanya sebuah perhitungan matematis sederhana, banyak asumsi yang terlibat dalam metode perhitungan ini. Namun, point pentingnya, bukanlah pada kepemilikan lahannya, namun lebih kepada optimalisasi atas pengelolaan lahan tersebut.
Jika dikaitkan dengan tema besar kita yaitu produk lokal, sebagai opsi terbaik menuju NTB Gemilang, maka analisis ini akan menemukan konteksnya. Mengapa harus jauh-jauh menjadi “asisten rumah tangga” ke negeri orang jika sumberdaya alam NTB ini masih sangat berlimpah untuk dikelola. Menjadi produk olahan dengan segala inovasinya. Apakah ini terlalu menyederhanakan masalah? Bahwa berbicara pemberdayaan perempuan tidak hanya bicara soal aktifitas ekonomi, namun banyak aspek yang terlibat didalamnya. Baiklah, konteks tulisan ini sekedar memberikan ruang diskusi awal. Bahwa keterlibatan perempuan NTB di atas sumberdaya alam NTB yang berlimpah jelas merupakan salah satu peluang yang harusnya menjadi sebuah konsep yang bisa diimpelentasikan menjadi sebuah gagasan dan kerangka kerja oleh pihak-pihak terkait.
Keterlibatan perempuan dalam sektor industri olahan jelas merupakan salah satu konsep dasar yang harus terus didorong. Fakta, bahwa menurut BPS, industri yang paling memberikan kontribusi terhadap share PDRB sektor industri di NTB adalah industri makanan dan minuman. Hal ini jelas merupakan salah satu sektor yang menjadi ranah para perempuan NTB, dan fakta bahwa UMKM makanan dan minuman di NTB memang didominasi oleh perempuan NTB, baik dari segi owner maupun tenaga kerjanya. Ini realita, yang seharusnya ditangkap. Bahwa pengembangan produk lokal, jika dimasifkan, dalam sebuah kerangka pikir yang jelas dan komprehensif, akan membuka aktifitas ekonomi yang akan memperkuat peran seerta perempuan NTB dalam prosesnya.
Tulisan ini bukan ingin menjustifikasi, namun membuka ruang diskusi untuk dapat merumuskan masalah dan membangun opsi terbaik bagi peningkatan peran serta perempuan di NTB dalam pengembangan sumberdaya alam NTB menjadi produk lokal yang inovatif. Jargon “pahlawan devisa” buat para TKW ini jelas adalah sebuah sarkasme, sarkasme yang meninggalkan dampak sosial yang parah untuk mereka yang ditinggalkan. Karena, kita manusia, yang tidak hanya berperan sebagai mahluk ekonomi, namun juga mahluk sosial, mahluk budaya, dan yang pasti mahluk semesta yang harus taat kepada ketentuan Ilahi. Mengembalikan peran dan pemberdayaan perempuan NTB menjadi “pahlawan produk lokal” jelas menjadi pekerjaan rumah buat kita semua. Mari bergerak bersama.
Produk lokal dalam ekonomi makro
Membahas urusan ekonomi, jelas bukan keahlian penulis. Latar belakang Pendidikan dan pekerjaan penulis bukan diranah ini. Namun sebagai mahasiswa Pasca Sarjana Magister Manajemen Inovasi, yang sedikit banyak “dipaksa oleh kurikulum materi perkulahan” untuk belajar urusan ekonomi makro (terima kasih tak terhingga untuk para civitas akademika Universitas Teknologi Sumbawa dan dosen pengajar penulis), maka tulisan ini harus sedikit banyak menyinggung korelasi antara produk lokal dan ekonomi makro NTB.
Sebagaimana kita pahami, urusan ekonomi ini memang menjadi salah satu indikator keberhasilan seorang pemimpin sebuah wilayah tertentu. Baik di level negara, maupun level Provinsi NTB. Dokumen RPJMD NTB Tahun 2019 – 2023 yang telah disahkan dalam Perda Nomor 1 Tahun 2019 jelas menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu “raport kinerja” Kepala Daerah Terpilih NTB 2019 – 2023, Bang Zul – Umi Rohmi. Mau viis misi sehebat apapun, berangkat dari gelar sepanjang apapun, indikator ekonomi jelas menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan pasangan Kepala Daerah di Provinsi NTB.
Para ahli ekonomi di NTB maupun di luar sana jelas bisa membahasakannya dengan lebih baik. Tulisan ini, untuk kesekian kalinya, hanya akan membahas secara analisis sederhana, atas apa yang telah penulis pelajari dan amati selama ini, sebagai salah satu mahasiswa Magister Manajemen Inovasi UTS yang telah “dipaksa belajar dasar-dasar ilmu ekonomi” dalam menjalani perkuliahan selama ini..
Produk lokal adalah hasil olahan sumberdaya alam NTB, yang diolah oleh masyarakat NTB, dengan inovasi dan ide cerdasnya, menjadi sebuah output barang dan jasa. Itu konsep dasarnya, masukkan unsur nilai intrinsik uang ke dalam asumsi ini, maka konteksnya akan menjadi jelas. Ada perputaran uang yang terlibat dalam proses produksi ini, ada nilai sumberdaya alam yang akan terbeli, ada tenaga kerja yang akan dibayarkan, ada barang dan jasa yang akan dijual. Secara keseluruhan, dalam teori ekonomi makro, proses ekonomi tersebut akan memunculkan “new activities economis” di tingkat lokal. Masukkan lagi unsur distribusi sumberdaya alam ke wilayah lain didalam Provinsi NTB, juga unsur penjualan produk lokal barang dan jasa sebagai hasil proses produksi didalam wilayah NTB, maka secara lambat laun, aktifitas ekonomi baru akan tumbuh secara merata diseluruh wilayah NTB.
Membahas urusan produk lokal dan ekonomi, lebih asyik jika dibahas dalam bentuk ilustrasi berikut. Semoga bisa lebih memberikan pencerahan. Sebuah desa, sebut saja Tepal, memiliki potensi sumberdaya alam lokal berupa kopi, sebagai bagian dari upaya konservasi yang diinisiasi oleh Pemerintah Desa, ketika panen, kopi tersebut dibeli oleh Bumdes Tepal dengan alokasi anggaran Dana Desa, dengan harga pasar tentu saja, kemudian diolah oleh pelaku wirausaha kecil kopi di Desa Tepal, menjadi produk dengan brand Kopi Tepal, diolah oleh para perempuan Desa Tepal, dibayar sesuai dengan UMR, untuk kemudian dibeli oleh konsumen dari luar Desa Tepal.
Mari bayangkan, ketika ilustrasi ini yang berawal sebuah aktifitas ekonomi sederhana dengan sumberdaya kopi berkembang menjadi olahan komoditas lain yang menjadi potensi masing-masing desa di wilayah NTB. Kopi, adalah salah satu jenis tanaman untuk konservasi lingkungan, itu tak terbantahkan. Para aktifis lingkungan akan membenarkan fakta ini, karena kopi adlaah komoditas perkebunan yang hanya akan tumbuh optimal dalam naungan pohon-pohon. Jadi mengembangkan kopi, dan sumberdaya alam lainnya jelas akan memberikan dampak untuk konservasi lingkungan. Dan jika diolah dengan seluruh kesempatan yang tersedia, akan memberikan dampak ekonomi dan pemberdayaan perempuan yang massif. Dan jika memasukkan asumsi ekonomi dalam artian perputaran uang tunai didalamnya, mari menghitung analisis ekonomi yang bisa tumbuh dari komoditas ini. Belum lagi menghitung potensi aktifitas ekonomi darisumberdaya alam yang juga memiliki nilai konservasi lingkungan dallam skalanya masing-masing.
Jika seluruh aktifitas ini bisa terbangun dengan optimal, maka dipastikan ekonomi sebuah wilayah akan tumbuh. Perputaran uang yang terjadi akan mendorong lahirnya aktifitas ekonomi baru yang akan mendorong sektor lain untuk terus tumbuh. Dan itu semua berlangsung dalam sebuah wilayah yang bernama Provinsi NTB.
Salah satu indikator untuk menghitung pertumbuhan ekonomi adalah nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Dalam teori PDRB jelas disampaikan bahwa peningkatan Consumption (C) merupakan salah satu faktor yang akan meningkatkan nilai PDRB suatu wilayah. Nilai C yang tinggi tentunya terkait dengan kemampuan daya beli masyarakat dan ketersediaan barang dan jasa yang dibutuhkan di pasar. Barang tersedia dalam bentuk produk lokal yang merupakan produk NTB, daya beli dipengaruhi oleh berapa nilai dan jumlah uang yang beredar di masyarakat yang bekerja di NTB. Apakah ini terlalu menyederhanakan masalah? Mari memahami konteksnya, bahwa semua hipotesis ini dibangun untuk memberikan ilustrasi bahwa jika sebuah sumberdaya alam NTB bisa dikelola dengan baik, maka peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui indikator PDRB NTB tentunya akan semakin terbuka. Penulis memahami, bahwa masalahnya memang tidak sesederhana tulisan ini. Namun, sebuah masalah hadir untuk dijawab dan dicarikan opsinya, dan tulisan ini, dengan segala kesederhanaannya, mencoba membangun kerangka pikir untuk membangun opsi bersama terkait masalah-masalah tersebut. Berangkat dari pengembangan produk lokal, dalam konteks mendorong pertumbuhan ekonomi, yang juga lokal, lokal NTB.
Aksi Bela Dan Beli Produk Lokal
Dari pemahaman diatas, dapat tergambar kiranya peran produk lokal untuk mendukung pembangunan NTB. Sektor konservasi berjalan sebagai factor input produksi bahan baku, sektor perempuan terberdayakan sebagai tenaga kerja maupun sebagai pelaku usaha. Begitupun dari aspek yang lain, silahkan saja dianalisa. Secara jangka panjang, pemanfaatan sumberdaya lokal dari NTB tersebut jika dioptimalkan dengan kerangka strategi yang jelas akan memberikan dampak yang signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
Meningkatkan pertumbuhan ekonomi NTB menjadi salah satu tolak ukur Kepala Daerah Terpillih Periode 2019 – 2023, Bang Zul dan Umi Rohmi. Di tengah terpuruknya ekonomi dunia karena efek pandemic COVID – 19, yang berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi NTB, maka strategi percepatan pertumbuhan ekonomi daerah jelas harus dibangun. Jika bicara ekonomi, seringkali akan berseberangan dengan aspek lingkungan. Mengejar cuan yang setinggi-tingginya tanpa dibarengi dengan konservasi jelas akan berakibat fatal. NTB sudah cukup menderita karena hal ini.
Mengembangkan produk berbasis sumber daya alam NTB jelas menjadi opsi terbaik. Karena sesungguhnya ekonomi dan konservasi merupakan satu keeping mata uang yang sama. Saling berkelindan, tak terpisahkan. Produk lokal merupakan bentukan mata uang tersebut. Dibangun untuk bernilai ekonomi, tanpa melupakan konservasi sumberdaya alam di NTB. Eksistensi produk lokal yang harus terus dijaga menjadi jaminan bahwa konservasi sumberdaya NTB adalah harga mati. Jika sumberdaya alam tak terjaga, maka produk lokal pun hanya akan tinggal nama. Saling mendukung, saling membutuhkan. Kontinuitas berpadu serasi dengan kualitas dan kuantitas. Dalam bentukan produk lokal.
Aspek lain yang tak kalah penting justru sering kali dilupakan. Komitmen dan konsistensi untuk membeli dan menggunakan produk lokal karya pelaku usaha di NTB pun harus menjadi jaminan. Jangan hanya Pemerintah yang menjamin, itu monopoli namanya. Jaminan itu harus dating dari kita semua, sebagai warga NTB, sebagai tanda cinta. Peran pelaku usaha di NTB pun jangan manja, semuanya harus dijamin Pemerintah, semua menadahkan tangan ke negara, itu jelas bukan kultur NTB. Mental pelaku usaha NTB jelas adalah seorang pejuang, selaiknya mental nenek moyang kita di masa lalu. Mengolah tanah sesubur NTB, menghasilkan sesuatu yang berguna dalam bentuk produk barang dan jasa yang berkualitas, tentunya melahirkan mental pelaku usaha yang berani bersaing dan selalu rendah hati.
Komitmen untuk terus menggunakan dan membeli produk lokal inilah salah satu kunci menuju NTB Gemilang. Seluruh pihak jelas harus terlibat aktif, jangan hanya jargon, apalagi narasi. Komitmen kuat untuk “meng-endorse produk lokal jelas menjadi peluang sekaligus tantangan. Peluang, karena dengan cara inilah produk lokal kita akan terus bertahan di tengah persaingan jaman. Tantangan, karena, harus diakui, produk kita masih memiliki banyak kelemahan mendasar. Justru peluang dan tantangan itulah filter kecintaan kita akan NTB. Pada umumnya, produksi produk lokal NTB memang belum bisa dalam skala produksi yang optimal, masih terbatas pada industri rumahan skala rumah tangga. Efisiensi biaya produksi masih menjadi mimpi yang belum terbeli. Namun, jika terus didorong dengan pemasaran yang massif, digunakan secara massal dalam jangka waktu tertentu, secara bertahap skala produksi itu akan meningkat. Pun, demikian halnya dengan kualitas, tentunya konsumen di pasar bebas, akan menitikberatkan hal tersebut. Ada harga, ada rupa, demikian jargonnya. Peningkatan kualitas pastinya mempengaruhi efisiensi biaya produksi. Namun sekali lagi, dengan pemasaran yang massif dan komitmen kita untuk membeli dan selalu menggunakan produk lokal dalam kehidupan sehari-hari, maka secara lambat laun, pelaku usaha NTB pasti akan terus beradaptasi terhadap hal tersebut. Pada akhirnya, kualitas jelas menjadi yang utama. Peran Pemerintah dan akademisi dalam proses pendampingan usaha ini jelas menjadi salah satu peran penting, biarlah pelaku usaha NTB terus berkonsentrasi membuat produk lokalnya, akademisi dan negara berperan serta sebagai jembatan didalamnya.
Produk Lokal, Opsi Terbaik Menuju NTB Gemilang
Menyimak tulisan diatas, dapat disampaikan bahwa mengembangkan produk lokal, yang menjadi master piece dari industri lokal di NTB jelas menjadi pilihan terbaik untuk mencapai mimpi NTB Gemilang. Banyak nilai yang dapat terimplementasikan didalamnya. Sebagaimana telah dibedah dalam tulisan diatas.
Tentunya, point paling penting dalam kerangka pengembangan produk lpkal adalah distribusi kesejahteraan. Untuk seluruh masyarakat NTB. Distribusi yang dilakukan pun oleh masyarakat NTB itu sendiri. Miris rasanya jika kita, warga NTB mampu membeli segala produk bermerek dan punya brand terkenal, namun seringkali memandang sebelah mata terhadap produk karya pelaku industri kecil kita di NTB. Namun rasa miris ini tentunya tidak akan berimbas menjadi sakit hati yang berkepanjangan. Namun justru melahirkan aksi bersama untuk membangun komitmen kuat dan terlibat aktif dalam distribusi produk lokal di tengah masyarakat NTB. Menjadikan proses distribusi ini semakin massif dengan segala keterbatasan yang dimiliki. Setidaknya, sudah ada yang berbuat, bukan hanya bernarasi dan ber seremoni belaka.
At least, mari beli dan secara konsisten gunakan produk lokal. Jangan biarkan pelaku industri kita mati suri hanya karena kekurang berpihakan kita kepada mereka. Kita tentunya, tidak ingin produk lokal kita berkompetisi dengan produk besar dengan kekuatan kapital, namun, hanya ingin mengisi sedikit ceruk pasar yang tersedia dari kebutuhan konsumsi masyarakat NTB. Agar distribusi kesejahteraan itu semakin nyata, dan menjadi opsi terbaik menuju NTB Gemilang.