Cerita Pendek Riyanto Rabbah
Dingin udara di Pungkit ditengah cuaca mendung yang menyelubungi senja. Desa yang nyaman menjadi muram. Hal itu nampak di sebuah rumah, pada sebuah kursi di ruang sunyi. Di sana duduk seorang ibu, menyendiri bukan karena sepi, tetapi karena mengasingkan persoalan dirinya jauh ke lubuk hatinya yang temaran.
Berjatuhan air mata ibu. Hampir setiap hari tangisan itu tumpah membasahi pipi dan tangannya, entah merenungi nasib yang akan, ataukah mengucilkan keadaan dirinya yang tidak berdaya.
Sementara itu Hati Sari sangat teriris mendengar suara isak yang terpatah-patah. Ia memahami perasaan ibu sebagaimana perasaan hatinya menghadapi keadaan yang mungkin saja sulit. Ketika semuanya tidak terjawab, hanya air mata yang menjadi peneduh sementara. Selebihnya adalah kekosongan.
Wajah Sari yang cantik menjadi sembab. Ia ikut larut walau mencoba menahan isak tangis yang bergumul dalam dadanya. Ia memahami persoalan yang menimpa orangtuanya, juga adalah persoalan dirinya. Persoalan itu berkenaan dengan kecantikannya. Ya, kecantikan yang menjadi teka-teki antara ketakutan dan ketakberdayaan.
Seharusnya kecantikan itu merupakan berkah yang membawa bahagia, bukan sembilu yang menyayatkan luka. Dalam usia remaja, kecantikan menjadi pusat perhatian para perjaka. Makin banyak yang melihat, dan menjadikannya bahan pergunjingan, sehingga kian banyak yang jatuh hati. Nah, inilah cobaan itu ketika perjaka yang jatuh hati tiada lain adalah dua perjaka berkerabat dekat.
Bagaimana memberikan pilihan yang tepat sedangkan Sari pun tidak mengenalnya kecuali menyerahkan sepenuhnya pada kedua orangtua. Ah, tidak mungkin memberikan serpihan hati untuk dua orang. Sari memahami itu. Mereka ingin memiliki dirinya seutuhnya. Ya, dirinya untuk seorang saja.
Tuhan menciptakan Sari bak rembulan. Bola matanya yang bulat cerah, semampai tubuhnya, putih mulus kulitnya seakan kembang yang mekar dipagi hari yang menjaga keseimbangan dengan rona merekah. Wajahnya yang memancarkan cahaya yang dibalut cahaya. Cahaya itu singgah di hati para lelaki. Ohoi.. telah banyak yang hanya bisa memendam harap dalam diam.
“Ibu tidak tahu harus memilih yang mana,” cetus sang ibu. Apakah penolakan dalam cengkaman ketakutan juga sebuah pendirian? Sari memahami miris hati sang ibu. Ia terdiam dan memainkan lentik jemarinya di atas kain seakan hendak menumpahkan kesedihan di sana.
***
Sebenarnya ibu ingin menyambut setiap keluarga dengan terbuka dan lapang dada, bahkan memenuhi segenap keinginannya. Seperti halnya bumi yang menerima serpihan sinar mentari, tiada yang terhalang karena cahaya itu adalah jalinan yang tiada menyempitkan ruang asa. Persoalannya, ruang itu menjadi gelap ketika cahaya menyorot dari arah yang berlawanan pada satu tujuan yang sama. Justru terang menjadi menyilaukan pandangan.
Baru lalu Dea Lebeh, utusan Tambanging, sepupu dari garis ayahnya datang bertamu. Umar, ayah Sari, menerima mereka di ruang dalam. Mereka menyampaikan maksudnya untuk meminang Sari, namun Umar tidak bisa memberikan jawaban pasti kecuali dengan penolakan yang halus karena ia tahu ujung dari keputusan itu.
Ia melepas Dea Lebeh dan beberapa kawannya dengan kuda tunggangannya meninggalkan Pungkit yang jaraknya jauh dari Sumbawa mungkin bersama kekecewaan hatinya. Hari rembang petang. Setiba di Sumbawa, perjaka bernama Tambanging pasti sangat kecewa mendengar penolakan itu.
Sepeninggal Dea Lebeh, serta merta ketukan pintu datang lagi. Kali ini dari Sampuang, sepupu dari garis keturunan ibu. Maksudnya pun serupa serumpun seolah merasa bahwa dialah yang paling berhak atas kecantikan Sari. Betapa sulit memberikan jawaban yang pasti, kecuali penolakan serupa — secara halus.
Mengapa kepada Sari setiap cinta hendak dilabuhkan? Bukankah ada saudara angkat Sari, Sena namanya yang mirip cantiknya? Mungkinkah memberikan pilihan pada yang satu, sedangkan yang lain tersakiti. Langit berselimut awan seakan mewarnai gelapnya hati dan pikiran ketika malam turun, tiada menyisakan terang sedikit juga. Bahkan ketika keluarga itu tidak punya pilihan.
***
Tiga kali utusan itu datang. Mereka terus mencoba dan mencoba mendekati dengan berbagai cara. Sari hanya mendengar dari dari kamarnya percakapan mereka. Hanya ayah dan ibunya yang menjawab setiap lawas dengan lawas. Terakhir, ibunya menyampaikan lawas di hadapan tamunya seakan sebagai isyarat penolakan terhadap pinangan itu.
Duhai sulitnya dipecahkan
Kalau sepupu keliwat ingin
Burung cuma satu-satunya
Direbut remaja insan sendiri
Itulah panah kekecewaan yang dengan terpaksa dilepaskan kepada para tamunya.
Sari termenung mengikuti raut wajah ibunya yang terus menangis. Bahkan kedua orangtuanya itu berteman kelompak mata yang sembab seakan memikul beban berat. Sari merasa berdosa dengan kecantikannya karena kecantikan itu seakan tidak memberikan pilihan yang benar. Ia mencoba merangkai kesibukan dengan sempurna, toh hatinya tetap teriris melihat ibu, dan ia merasa semakin tidak sempurna dengan kecantikannya.
***
Tubuhku cuma satu biji mataku
Direbut dua lelaki perkasa
Duhai betapa pertimbangan akhir
Hingga duka tiada mencekam dada
Sari menyenandungkan lawas itu dengan sendu. Hari telah larut malam. Hatinya teriris, bola matanya mengeluarkan buliran tangis sebagaimana hari lalu. Ia tidak bisa tertidur memikirkan nasib diri dan keluarganya. Sena turut merasakan duka yang dalam.
Jika hati didera derita
Dosa melumuri jiwa raga
Capai di kiri perih di kanan
Sebaiknya maut datang menjemput
Sena merenungkan kata-kata putus asa itu, namun ia tidak menimpalinya.
Hari itu ada yang tidak pernah lupa ketika orang melupakannya. Bayangan itu berkelebat mendekat ke relung perasaan Sari.
***
“Mungkin harus kuputuskan sesuatu yang tidak menyakitkan siapapun diantara mereka,” kata Sari suatu ketika dengan nada lirih. Sena terdiam, kemudian katanya, “Apa maksudnya?” Kali ini Sari balik terdiam. Segala keputusan sudah pasti membawa resiko. Satu keputusan, satu keluarga tersakiti. Sakit itu akan menebar dalam kata-kata dan tindakan. Sakit itu adalah luka yang bisa melukai yang lain, lembar sejarah kehidupan yang sambung-menyambung. Dan, itu sangat pahit.
Rumah panggung itu menjadi saksi segala percakapan yang terjadi, bahkan terhadap perasaan yang semakin tidak menentu menghadapi bayang-bayang kemungkinan. Sari dan Sena menatapi plafon kamar yang remang. Sebuah rumah panggung yang cukup tua dengan tiang penyangga kayu jati. Sesekali mereka mengikat benang warna-warni yang dipersiapkan menjadi kain esok hari. Namun kain itu begitu lama rampungnya karena hati yang kusut. Mungkin ayah dan ibunya juga merasakan hal serupa. Karena itulah Sari merasakan penyesalan yang luar biasa. Keberadaannya membuat seisi rumah menjadi terlibat dalam kesedihan yang sangat panjang.
Di depan cermin Sari memandangi wajahnya sendiri. Satu persatu ia perhatikan, dari alisnya yang melengkung indah, bola matanya yang berkilauan, bibirnya yang tipis, dagunya yang manis, hingga lesung pipinya yang memikat, rambutnya pun tergerai indah.
“Mungkinkah ini keajaiban itu yang menaklukkan hati setiap lelaki?” bisiknya. Alangkah naifnya kecantikan jika tidak mampu membuka pintu bahagia. Makin larut, kian terbawa alam pikirannya menuju sesuatu yang jauh hingga matanya terpejam.
***
Suatu malam, tiba-tiba Sena mendengar sesuatu yang tidak beres. Suara yang sangat mengejutkan itu berasal dari kolong rumah panggung. Ujung tombak muncul dari bawah bertubi-tubi menusuk tikar rotan seperti isyarat yang menakutkan. Sena lari tergupuh-gupuh menjumpai Sari yang tertidur pulas. Mendengar langkah suara kaki Sena, Sari pun terkesiap bangun.
“Ada apa Sena?”
“Ada orang yang mengganggu kita dari kolong,” katanya rada berbisik. Perlahan mereka beranjak menuju asal suara, kemudian menyapukan pandangan ke lantai di atas kolong. Tikar rotan masih bergerak. Ujung tombak menyembul merobek ruasnya. Ada apa gerangan?
“Siapa kalian?” Sari bertanya dengan suara yang agak keras.
Orang yang berada di bawah kolong pun menyebutkan namanya, Rambanging dari Sumbawa.
“Aku datang untuk menjemputmu, Sari!”
Sari teringat utusan yang datang itu tempo hari yang ditolak ayahnya.
“Menjemputku? Tengah malam begini? Bagaimana kalau aku tidak mau,” jawab Sari.
“Akan kudobrak pintu rumahmu dan tombakku akan mencabut nyawamu!” Sari terkejut. Ia terdiam sejenak. Membunuhku, pikirnya. Ia pun memutar otak, kemudian katanya, “Kalian tak perlu membunuhku. Kalau kau berkeinginan keras untuk memilikiku, datanglah ke Temang Dongan hari Rabu saat subuh. Di sana aku menunggumu…” Entahlah, tiba-tiba saja pernyataan itu meluncur.
Mereka pun menarik ujung tombaknya dan berlalu begitu saja.
Duhai apakah itu jawaban yang benar? Mengapa pula Sari menyebut Temang Dongan? Bukankan ibu dan ayahnya tidak tahu tentang janji yang diucapkan secara tiba-tiba itu? Apakah Sari tidak mengkhianati mereka? Sari dan Sena memikirkan apa yang telah diucapkan. Hari itu hati mereka penuh dengan kemelut.
Udara pada malam berikutnya seakan bertuba. Malam yang dingin tidak mampu menyenyakkan tidur mereka, bahkan ketika selimut dari kain tenun membungkus tubuh dengan sempurna. Dinginnya malam seperti dirobek sesuatu yang asing. Sesuatu yang menyembul dari bola matanya, dari lengkung alisnya, dari putih kulitnya, dan sesuatu yang lain mengarah ke dada Sari.
Ketika mata hendak terpejam, serta-merta Sena terjaga lagi oleh suara sedikit gaduh sebagaimaa suara yang terdengar pada hari kemarin.
“Siapa kalian?”
“Aku Sampuang dari Lape. Aku akan menjemputmu!”
“Bukankah kalian tak pernah ada janji sebelumnya?”
“Tak perlu ada janji, ini cara lelaki,”katanya.
Sari makin bersedih. Namun nafsu merebut tidak berbatas. Itulah yang membuat bibir Sari gemetar. Ia mengulang ucapan serupa.
“Bagaimana kalau aku menolakmu?”
“Akan kumasuki rumahmu dan nyawamu akan kucabut dengan mata pedangku!”
Betapa mudahnya orang berkata-kata mengancam jiwa yang lain. Betapa rasa terdalam yang katanya cinta menjadi dendam manakala cinta itu tiada bersambut. Tubuh Sari lemas lunglai. Tubuh itu menjadi tumpuan cinta dan dendam kesumat. Tubuh itu dicintai atau disakiti. Tubuh itu hanya daging, dan mengapa orang merebutnya dengan cara yang memalukan?
“Baiklah,tunggulah aku di Temang Dongan hari Rabu waktu subuh.”
Langkah kaki itu menjauh. Sepi pun mencekam kembali.
***
Subuh yang gelap. Hari yang tampak pekat. Suara serangga lenyap seakan tersentak pada sebuah kejadian yang begitu cepat. Pepohonan kaku dalam gelap, mengurai bayangan, menyatu dengan suasana hutan seperti kehilangan cabang-cabangnya. Di areal itu nampak Temang Dongan yang dalam, yang menjadi bejana luka untuk sebuah keputusan. Dalam gelap pekat, dengan beberapa kali kerdipan mata, dua tubuh itu terbang menerjuni curamnya jurang bagai kelebat bayangan yang berlari meninggalkan serpihan-serpihan keputusasaan.
Gugurlah daun-daun hijau dari ranting yang dipenggal beban. Angin semilir membawanya berlalu membekaskan luka hati itu sesaat setelah jeritan terakhir. Temang Dongan menjadi saksi bahwa sesuatu yang pernah ada tidak akan pernah lenyap begitu saja. Mungkin ia juga luka sebagaimana halnya Sari.
Lihatlah tubuh itu tergeletak dan bertindihan seakan mempercepat waktu yang pedih. Ia masih bernama Sari dan Sena, dua gadis yang tak kuasa menghadapi keadaan, terbaring antara ada dan tiada.
Sesaat setelah memenuhi janjinya, Rambanging dari Sumbawa sudah berdiri di tepi jurang Temang Dongan. Ia tak menemukan gadis yang dicarinya. Sedangkan dari arah berlawanan rombongan Sampuang dari Lape bergegas mendekat. Mereka berhadap-hadapan dengan ambisi dalam suasana mencekam. Mereka memanggil gadis yang didambakannya.
“Sari…!” teriakan itu melengking menembus dinding pagi, berubah menjadi suara yang memilukan dari dua pemuda yang perkasa.
“Sari…”
Rambaging dan Sampuang merasakan letih dan tiba-tiba tidak berdaya. Tiada lagi ancaman dari jiwa yang bernafsu, tiada pula jawaban dari bibir tipis itu. Mereka masih belum percaya sepenuhnya melihat pemandangan itu.
Setelah berjam-jam berdiri di tepi jurang yang remang, barulah mereka menemukan jawaban yang benar bahwa Sari sudah bunuh diri. Mereka tidak pernah menginginkan kematian itu sebagai sebuah jawaban dari seseorang yang didambakan, kecuali bagi Sari dan kesetiaan Sena menyerahkan kembali kecantikan itu pada dinding batu yang paling sempurna.
Dieksplor dari cerita rakyat Sumbawa “Temang Dongan”