KLU, Literasi-Alunan suaranya mendayu pada hari istirahat sebuah pertemuan yang difasilitasi LPA NTB di Tanjung, Lombok Utara, belum lama ini. Dialah Putrawadi, sosok penembang yang masih eksis walau alunan suaranya membawa berbagai takepan nyaris tenggelam oleh situasi bencana nonalam saat ini.
Generasi penembang di Kabupaten Lombok Utara sebetulnya sudah mulai bermunculan lewat beberapa event yang menampilkan kehadiran mereka. Namun, Covid 19 membuat mereka tidak lagi leluasa diundang dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan adat dan agama.
Momentum seperti perkawinan, khitanan dan kegiatan berbau adat maupun kegamaan biasanya membuat mereka hadir di tengah-tengah masyarakat. Para penembang ini akan mengumandangkan berbagai tembang yang diambil dari lontar yang tersimpan di Museum NTB. Transkrip lontar itu sendiri sudah ditulis tangan dalam bentuk huruf latin. Itu disebabkan karena para penembang rata-rata belum punya kemampuan membaca lontar dalam bahasa Jawa Kuno.
Karena itulah berbagai naskah ditulis tangan dan dihimpun dalam sebuah lembaran fotocopyan. “Kitab Suci” itulah yang selalu dibawa Putrawadi lengkapdengan terjemahannya.
“Jadi saat menembang kita juga kumandangkan terjemahannya,” katanya. Lanjut dia, setiap tembang intisarinya berasal dari Al-Qur’an yang kemudian diurai dalam bentuk kearifan lokal.
Pengaruh Jawa
Lombok sendiri menerima pengaruh dari Jawa dalam karya karya sastra tersebut, sedangkan pengaruh dari Bali dalam bentuk seni musik dengan unsur penunjang lainnya seperti gamelan.
Pasalnya, tradisi menulis takepan dibawa para pujangga yang dibawa utusan kerajaan Demak. Karena itu, pada masa lalu menulis lontar/takepan menjadi sebuah tradisi setelah muncul seni wayang di Lombok yang dibawa pada masa kedatangan Sunan Prapen dan para wali.
Takepan merupakan pengaruh lontar di Jawa. Huruf yang digunakan dalam menulis takepan diberi nama huruf Jawa Kuno atau jejawen. “Namun, jika ditilik perbedaan antara huruf Jejawen di Jawa dan di Lombok, yang menonjol adalah dari bentuk,” kata Ki Dalang Rusmandi.
Mengapa para penembang kemudian lebih banyak membawakan karya sastra turunan Kerajaan Demak itu? Hal itu disebabkan karya sastra konvensional – yang asli ciptaan masyarakat Sasak — nyaris belum ada, kecuali yang sifatnya berupa tembang-tembang ringan yang berpatokan pada karya yang sudah ada dan terikat dengan persamaan bunyi dan jumlah suku kata.
“Itu bagian dari macapat. Di sini belum ada karya tembang lain kecuali macapat,” lanjut Rusmandi.
Banyak karya sastra yang berasal dari Jawa dihadirkan di Lombok.Misalnya Serat Menak.Padahal,Serat Menak di Jawa sudah lama ditinggalkan karena terlalu wadag. Misalnya menyangkut alur cerita tentang Islam seperti dalam kisah Bangbari, Kawitan, dan lain-lain. Sebaliknya di Lombok masih tetap dengan cerita lama. Hal ini disebabkan kurangnya penggarapan seperti pada faktor penokohan. Akan tetapi secara keseluruhan makna dalam takepan sama saja dengan lontar-lontar di Jawa.
Menurut Rusmadi, ajaran tarekat dan sufi dalam karya sastra di Lombok begitu kuat, Hal itu menandakan pengaruh kerajaan Karangasem sangat kecil dalam tradisi ini. Artinya, naskah yang ada cenderung naskah lama sebagai peninggalan Prapen.
Hidup dari Tradisi Adat
Karya sastra tradisional kini lebih banyak hidup dari tradisi masyarakat Sasak, sebelihnyaadalah pembinaan intyensif yang dilakukan pemerintah.
Penembang asal Desa Bentek, KLU, Putrawadi, menuturkan lewat berbagai pembinaan sudah tumbuh belasan generasi baru. Di desanya sendiri terdapat belasan orang dari sebelumnya yang tidak sampai sepuluh orang. Terdapat tiga sanggar yang eksis mengelola kemampuan melantunkan berbagai pupuh dengan berbagai latar cerita itu, mulai dari cerita kelahiran, perkawinan hingga kematian.
‘Sebelum Covid kita bisa menerima undangan mengisi acara tiga kali seminggu. Sekarang paling banter hanya tiga kali sebulan,” kata Putrawadi. Mengisi acara seharian penuh, biasa berakhir menjelang waktu Subuh. Namun demikian, Putrawadi mengaku menikmati apa yang dia lakukan. Walau honor yang diterima tidak seberapa, suasana silaturrahmi dan keakraban berbaur dengan masyarakat itulah yang membuatnya betah.
Selain sebagai penembang, Putrawadi mengelola beberapa are lahan pertanian untuk menopang hidup diri dan keluarganya. Dalam situasi Covid 19 saat ini, ada sedikit gundah yang dirasakan. Ketika berbagai acara berbau adat dan tradisi dibatasi, alunan suaranya yang indah itu seakan-akan tenggelam.ian