MATARAM,Literasi-Konsep ekonomi kreatif harus mulai dijalankan di dunia pariwisata khususnya di NTB mengingat beragam kekayaan yang dimilikinya. Ada zona-zona tertentu yang secara historis memiliki keunggulan seperti di Lombok Utara, Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur.
Hal itu dikemukakan dosen SekolahTinggi Pariwisata (STP) Mataram, Dr.Syech Idrus, berkenaan dengan kemajuan pariwisata dikaitkan dengan ekonomi kreatif.
“Kalau mau melihat pengembangan pariwisata, sebetulnya nilai-nilai historis sudah terbagi khusus di Lombok,” katanya.
Ia mencontohkan dalam mengembangkan pariwisata, zona budaya letaknya di utara (KLU). Sedangkan bagian tengah ada Sukarara dengan produk kain tenunnya, pembuatan ketak sampai produk gerabah, sehingga bagian tengah ini cocok dikembangkan pariwisata secara ekonomi. Sedangkan di timur pantai lebih memungkinkan dikembangkan,” paparnya.
Syech Idrus menyebut di bagian utara dengan kondisi geografisnya semestinya tidak ada bangunan permanen. Sehingga, perlu ada pemahaman.
Sementara ini dalam memandang sektor pariwisata yang ditonjolkan cenderung ekonominya. Padahal nilai-nilai di masyarakat itulah yang sangat urgen seperti kearifan lokal sebagai identitas dan jati diri.
“Kalau terkait dengan ekonomi kreatif, kekayaan budaya seperti kuliner sudah masuk menjadi bagian dari ekonomi kreatif,” cetusnya.
Ia menilai kuliner masyarakat NTB merupakan fakta yang memberikan angin segar dalam ekonomi kreatif karena begitu beragam kekayaannya dan tidak terkalahkan. Oleh sebab itu, pada tahun 2016 hingga 2017 Kementerian Pariwisata sempat menginginkan adanya pengembangan kuliner di NTB.
Kata dia, potensi kreatif masyarakat NTB cukup besar dalam mengembangkan ide kreatif mereka dengan inovasi dan pembaruan yang dilakukan dari yang tadinya tidak bernilai menjadi berharga. “Kalau dibuat suatu ide yang sangat kreatif di masyarakat, itu bisa menjadi alternatif dalam memecahkan permasalahan,” ujarnya.
Di NTB potensi kratif itu banyak terdapat di desa-desa. Di salah satu desa misalnya, kata Syech, pembuatan berbagai produk makanan sangat beragam sehingga bisa menjadi penciri destinasi.
“Katakanlah di KLU banyak menonjolkan budaya. Tetapi ada aktifitas ekonomi lain seperti penghasil pisang, jagung, kelapa, yang bisa dijadikan suatu kreativitas jika diubah,” kata Syech. “Ada bantal ketan, di satu daerah bisa jadi dibuat bantal jagung di desa lain. Ada sesuatu yang diubah yang bernilai positif.”
Namun, salah satu persoalan di desa — kendati banyak orang kreatif – adalah pemasaran produk. Setelah memproduksi, lanjut dia, ada ganjalan pada marketing. “Yang kurang adalah pengusaha. Ini yang menjadi kebutuhan. Di desa harus ada pilar ini agar pemasaran tidak macet,” katanya.
Dalam soal produk, lanjut dia, sehari dua hari saja dilatih, masyarakat sudah mampu menghasikan produk yang baik. “Masalahnya, hasil produk harus dibawa kemana? Karena itu, kalau desa ingin menjadikan desa wisata, harus ada pengusaha selain akademisi. Ini jalan keluar yang harus dikaji,” urainya. Ian