Lombok Barat, Literasi-Meski Ramadhan bulan penuh rahmah sudah di pengujung waktu dan berakhir Selasa, kisah-kisah unik nan mentradisi di bumi Lombok yang melekat dengan sebutan Pulau Seribu Masjid tak akan pernah lenyap ditelan zaman. Ada tradisi yang cukup unik dan fenomenal bagi masyarakat Lombok yang tengah menjalankan ibadah puasa. Bila saatnya tiba, malam-malam ganjil di atas tanggal 20 Ramadhan mulai tanggal, 21, 23, 25, 27, dan malam ke 29 masyarakat penganut tradisi di Lombok melakukan ritual yang disebutnya “maleman”.
Hampir di setiap sudut desa pedalaman di Lombok, tradisi yang satu ini pasti banyak ditemukan. Tradisi ini dilakukan sebagai manifestasi rasa syukur warga atar pertemuannya dengan bulan penuh rahmat tersebut.
Tradisi maleman di Lombok selalu ditandai dengan menyalakan ‘dilah jojor’. Apa itu Dilah jojor? Dilah Jojor merupakan sejenis suluh penerang yang dibuat secara tradisional oleh warga. Bahannya yang digunakan untuk membuat barang ini juga disediakan langsung oleh warga. Tidaklah sulit cara membuatnya. Yang sulit justru bahannya yang terbuat dari buah jamplung yang saat ini sudah mulai langka ditemukan.
Dilah jojor bisa disebut sejenis obor yang berasal dari buah jamplung yang dibakar. Oleh warga Desa Dasan Tapen, Kecamatan Gerung, Lombok Barat misalnya, tradisi ini telah dilakukan warga sejak jaman dulu. Tradisi ini bertujuan agar warga tetap terjaga dan beribadah untuk menyambut malam Lailatul Qadar.
“Itu maknanya sejak malam ke-21 harus terus terjaga saat malam, menjaga Lailatul Qadar untuk ibadah,” kata HM Sanusi, salah satu tokoh masyarakat setempat Senin malam (3/6).
Menurut HM Sanusi, maksud dinyalakannya Dilah Jojor ini agar imannya semakin terang seperti itulah malam lailatul qadar. Proses ini diawali dengan membawa ‘dulang’ berisi nasi dan lauk-pauk ke masjid. Setelah waktu magrib tiba, warga bersama tokoh masyarakat dan tokoh agama yang telah berkumpul di masjid menyantap hidangan berbuka yang telah disiapkan dalam dulang. Dile jojor dinyalakan setelah ibadah shalat magrib. Dusun yang semula gelap ini menjadi terang terkena sinar dari nyala api dile jojor.
Pria, wanita dan anak-anak di kampung ini meletakkan dile jojor di setiap sudut rumah dan tempat pemakaman desa. Suasana tempat pemakaman umum pun ramai karena semua warga berkumpul untuk menyalakan dile jojor di makam anggota keluarga mereka.
Dilah jojor dinyalakan bukan hanya malam ganjil. Namun setiap malam ratusan warga sampai anak-anak menyalakan lampu tersebut. Biasanya, dilah jojor dibakar di depan rumah mereka sambil bersawalat.
“Tradisi ini merupakan perayaan menyambut malam Lailatul Qadar yang turun pada malam ganjil,” ujarnya. (her)