SELONG, Literasi-Lombok merupakan daerah yang sangat kaya dengan tradisi budayanya. Bahkan, gumi paer Selaparang yang kini dikenal dengan julukan daerah Seribu Masjid ini memiliki beragam produk budaya diantaranya kesenian seperti rudat, gendang beleq, cilokak (musik tradisional); cupak-gerantang (teater), jangger (tari), dan memaca (seni baca sastra).
Memaca merupakan produk budaya Lombok yang kini termarjinalkan dan nyaris punah. Padahal, ada dua hal penting yang bisa ditelusuri dan bernilai sejarah di dalam tradisi ini, yaitu pembacaan jenis karya berupa hikayat dan takepan.
Hikayat adalah karya sastra para ulama Nusantara terdahulu yang bertuliskan huruf Arab Melayu. Sementara takepan bertuliskan huruf hanacaraka /jejawen/kawi Sasak, merupakan karya para tokoh yang berfikiran sufistik dari Gumi Selaparang.
Beberapa contoh karya sastra kitab hikayat yaitu Kasful Gaibiyah, Abu Bakar, Kamaruzzaman, Si Miskin, Wirasul Ambiya, Yusuf dan lain-lain. Sedangkan contoh kitab takepan seperti Tapel Adam, Monyeh dan Puspakarma.
Pembacaan kitab hikayat ini menggunakan langgam pentatonis (Sasak) berasimilisasi dengan nasyid Arab dan langgam Melayu (seperti pada barzanji). Hal ini bisa dijumpai pada pembacaan hikayat warga Desa Apitaik, Kecamatan Pringgabaya, Desa Aikmel Kecamatan Aikmel, Desa Lenek Kecamatan Aikmel, Desa Karang Baru dan Beriri Jarak Kecamatan Wanasaba.
Sementara pembacaan (memaca) kitab takepan (Tapel Adam) dengan langgam pentatonis berasimilisasi dengan langgam Bali dan Jawa Kuno yang dapat dijumpai pada waktu acara Tatulak Desa dan Tatulak Tamperan di Desa Pringgabaya, Kecamatan Pringgabaya.
Pembacaan hikayat sering dilakukan setelah beberapa hari orang meninggal dunia (dikenal sebagai pelayaran), pada saat bulan Maulid, Isra’ Mikraj, Musim Haji. Pada sebagian masyarakat di Desa Lenek dilakukan juga pada saat acara hajatan. Sedangkan takepan sering dibaca pada acara Tatulak Desa dan Tatulak Tamperan (acara budaya tahunan) tiap tahun di Desa Pringgabaya.
Pembacaan kedua kitab yang selanjutnya (umumnya) dikenal sebagai “memaca”, saat ini sangat jarang dilakukan, hampir punah dan bahkan karenanya menjadi asing di kalangan orang Lombok (Sasak) sendiri.
Semntara, beberapa desa yang masih intens melakukannya sampai saat ini adalah Desa Apitaik, Desa Pringgabaya, Desa Aikmel, Desa Toya, Desa Beriri Jarak dan Desa Karang Baru. Sebagian dari mereka seperti halnya para pemaca di Desa Apitaik sering mendapat undangan untuk memaca di desa lainnya seperti Desa Labu Pandan, Desa Aikmel dan lainnya.
Para pemaca tersebut kini belum ada pengganti alias belum ada upaya pengkaderan untuk kelestariannya. Di antara mereka memang ada yang mencoba mengajarkannya ke para remaja di lingkungan terdekat sebagaimana yang telah dilakukan di Desa Apitaik dan Desa Karang Baru dan Beriri Jarak.
“Sekat ta mouk gitak dengan belajar memaca, sengak wah na siarak zaman maju niki. Leguk dakakna ngeno wah sok jak ite ngajar kanak bajang lek gubek Lekok -Tembora/gubuk Pindang niki,” kata Amaq Sahudin, seorang pemaca kitab hikayat dari Desa Apitaik, yang terjemahannya, “Sulit kita mendapat orang yang mau belajr baca kitab, karena setelah adanya kemajuan zaman ini. Namun walau begitu kita sudah mengajar anak muda di Gubuk Tambora/Gubuk Pindang Dusun Gubuk Lekok ini).
Kondisi demikian inilah yang melatar belakangi sebuah Lembaga Lokal LPLP Cemara Rompes NTB yang bersekretariat di Aikmel Lombok Timur untuk melakukan kegiatan dalam upaya pelestarian seni memaca di Lombok. Karena, memaca yang mengiringi penyebaran Islam di Lombok telah menjadi penguat dan semangat jati dari suku bangsa Sasak.
“Kita telah melakukan survey yang ke tujuh kalinya terhadap para pemaca di Desa Karang Baru dan Desa Beriri Jarak Kecamatan Wanasaba,” ujar Abdul Latief, Sekretaris Cemara Rompes. Mereka nantinya difasilitasi. Pihaknya bekerjasama dengan Kemnsos RI dan pada saatnya nanti digelar pergelaran Memaca Hikayat oleh kelompok memaca. Kusmiardi