Bagi jagad kepenarian NTB, siapa yang tidak kenal Lalu Suryadi. Sosok enerjik yang telah mengharumkan nama NTB di tingkat nasional dan internasional lewat karya-karya kreatifnya sebagai penari sekaligus penata tari (koreografer).
Lalu Suryadi Mulawarman lahir di Mataram pada tanggal 20 Mei 1970 dari pasangan Drs. Lalu Mustawi dan Baiq Masrahayati. Sejak kecil kedua orang tua Surya sering mengajaknya nonton seni pertunjukan tradisi yang diselenggarakan pada upacara adat di Lombok, dan mulai aktif sebagai penari yang dilakoninya sejak tahun 1985 dengan berguru pada seniman tari Abdul Hamid.
Semenjak itu ia sering diajak untuk menari di pentas-pentas seputar Kota Mataram, dan beberapa kali mengikuti festival tari mewakili NTB di tingkat nasional.
Tahun 1985 mengikuti Festival Tari Kreasi Baru Tingkat Nasional dan 1987 Festival Tari Daerah di Jakarta sebagai penari.
Saking cintanya pada dunia tari, setelah tamat SMA Negeri 1 Mataram tahun 1989, atas rekomendasi Gubernur NTB Warsito waktu itu, ia hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan studi di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Jurusan Tari dengan mengambil spesialisasi pada Penciptaan Karya Tari (Koreografer).
Kegelisahan Surya pada dunia tari pun terus tumbuh seiring dengan bakat yang dimilikinya. Tidak heran sewaktu menjadi mahasiswa, selain belajar tari secara formal di IKJ, ia pun banyak menimba ilmu dengan cara nyantrik di beberapa sanggar dan penata tari ternama kaliber internasional seperti : Gusmiati Suid, Boy Gumarang Sakti, Tom Ibnur, Dedy Luthan, Sentot S, dan lain-lain.
Moment-moment berbau mahasiswa pun kerap kali ia ikuti mewakili institusinya, salah satunya event Pekan Seni Mahasiswa Nasional. Sedangkan di luar institusinya, banyak juga acara-acara di mana ia terlibat baik sebagai penari maupun sebagai koreografer, seperti : Pekan Raya Jakarta (PJR), Kenduri Nasional di Monas, Terima kasih Indonesia yang diselenggarakan SCTV dan Dedy Dance Company,serta Marching Band Bahana Cendana Kartika (Caltex) di Pekan Baru Riau.
Selama 11 tahun menimba ilmu di negeri orang, tahun 2000 ia kembali ke tanah kelahirannya; “Sejauh-jauh burung terbang akhirnya pulang ke Sarangnya juga”.
Dengan bekal ilmu dan pengalamannya itulah kini Surya terus suntuk latihan bersama teman-temannya yang tergabung dalam SakSak Dance Production.
Surya dan Perjalanan Kreatifitasnya
Karya-karya yang lahir dari rasa dan karsa Lalu Suryadi selalu menarik perhatian publik tari tidak hanya di NTB, juga luar NTB. Beberapa karyanya sempat dipergelarkan di Jakarta, Bandung, Solo, Surabaya, Denpasar, dan kota-kota lain di Indonesia.
Seperti umumnya alumniJurusan IKJ yang mengambil spesialisasi Penciptaan Karya Tari, mereka selalu dituntut untuk menghasilkan karya kreatifnya sebagai salah satu mata kuliah. Tetapi bagi Suryadi, karya kreatifnya tidak hanya sebatas dinilai oleh seorang dosen melainkan harus juga “berbicara” di publik tari. Maka untuk mewujudkan kegelisahannya itu ia salurkan di setiap event festival tari.
Mengawali kariernya sebagai penata tari tahun 1990 dengan menggarap karya tari “Belenggu” dan “Kodrat Wanita”. Tahun 1992, ia menggarap tari “Tidi Lo Mbu Inga”, karya tersebut masuk enam besar dalam Festival Koreografer Indonesia di Jakarta. Menyusul di tahun 1993, lewat karyanya “Dedare” ia dinobatkan sebagai salah satu Best Koreografer Asia pada Indonesia Dance Festifal II di Jakarta, selang beberapa bulan kemudian karya itu diikutkan dalam Festival Seni Mahasiswa Nasional II di denpasar Bali. Selanjutnya, di tahun 1994 ia menggarap “Ngigel” yang masuk sebagai karya terbaik di ajang festival Penata Tari Muda Indonesia.
Tahun 1995-1996, karya-karya Suryadi lebih banyak bersifat pentas-pentas kolosal di event opening ceremony dalam Rangka Ulang Tahun NTB, Pawai Pembangunan Nasional dan acara-acara lain yang lebih pada penggarapan tari massal. Menginjak tahun 1997, ia kembali menggarap karya tari “serius”, Tidak tanggung-tanggung 2 karyanya diikutkannya dalam Festival Gedung Kesenian Award di Jakarta, serta keduanya masuk sebagai nominasi.
Tari “Para-mpuan” yang konsep garapannya terinspirasi dari aktivitas papuq-papuq (Suku Sasak) di Lombok yang sedang mendekatkan diri pada Sang Pencipta, mendapat juara pertama kategori tradisi, sedangkan tari “Dongeng Kini” mengambil idiom legenda Putri Mandalika yang sangat menjunjung tinggi keagungan cinta itu sudah bergeser pada kehilangan maknanya. Tari “ Dongeng Kini” masuk juara tiga ketegori Kontemporer.
Beberapa bulan setelah festival, karya “Perempuan” diminta untuk tampil menyemarakkan GKJ Internasional Festival di Gedung Kesenian Jakarta. Pada tahun yang sama (1997) atas undangan Lembaga Indonesia Ameria (LIA) “Perempuan” pentas di Boston dan Utah Amerika Serikat.
Sepulang dari Amerika, Surya terus mengasah keseniananya sebagai koreografer muda Indonesia. Karya-karyanya terus lahir, dan undangan pentas di event bergengsi pun mengalir deras. Tahun 1999 Dewan Kesenian Jakarta mengundangnya sebagai salah satu Koreografer Muda yang mengisi pentas Empat Koreografer Muda Indonesia dengan membawakan karya tariannya berjudul Feto Klosan Kiak Husi Timor” (Wanita Yang Luluh Dari Timor) di Graha Bhakti Budaya TIM Jakarta. Tarian ini diilhami dari kisah nyata persoalan perempuan yang terjadi di Timor Lorosae dimasa rezim Soeharto.
Tahun 2001, karyanya “Ajatukrama” mewakili NTB mengikuti Festival Seni Pertunjukan Indonesia yang diselenggarakan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. Tari “Ajatukrama” diilhami dari tata cara prosesi perkawinan masyarakat Sasak-bangsawan(sorong serah) di pulau Lombok. Lebih dari itu, kedalaman gagasan dalam karya tersebut, Suryadi ingin berbicara tentang perbedaan kasta, golongan, adat istiadat yang merupakan cerminan dari keberagaman etnik dan budaya yang tertinggal dari leluhur negeri ini. Ketika Ijab Qabul diikrarkan, perbedaan hanyalah satu bagian dari proses perjalanan hidup. Dan, perkawinan (Ajatukrama) merupakan langkah awal untuk menyatukan perbedaan itu. Pada tahun 2003, tari “Ajatukrama” diikutkan dalam Indonesia Performing Art Mark (IPAM) di Nusa Dua Bali.
Tahun 2004, atas undangan GKJ ia mementaskan “Wangsa Menak” di event Jakarta Anniversary Festival II di Jakarta. Dalam karya itu, Suryadi ingin menguak tabir dari sosok dan peran perempuan Sasak dalam mengabdi pada sang suami. Kemuliaan hati, cinta kasih, ketulusan dan kejujuran, serta sensualitas perempuan jadi bagian dari eksplorasi garapannya.
Sedangkan karya-karyanya yang lain, diantaranya : “Ba lo lo”, “Sak-Sak”, “Perwangsa”, “Nyatu Telu”, “Sampela”, “Kemang Puri”, “Raden Surya” dan karya tari massal yang diciptakan serta dipentaskan dalam rangka Pekan Apresiasi Budaya NTB, dll.
Kini, walaupun Surya menjadi salah seorang pejabat di lingkungan Dinas Pendidikan, karya seninya masih mengisi ruang-ruang di NTB dan luar NTB.
Ideologi Kesenimanannya
Jika menyimak perjalanan kehidupan pribadi serta pengalamannya di dunia kesenian, terlihat bahwa Lalu Suryadi memiliki cara pandang atau ideologi yang khas dalam mengungkapkan karya tarinya. Cara pandang itu tertuang dalam beberapa catatannya.
Ia mengatakan bahwa ditengah proses menemukan identitas tari kontermporer indonesia, begitu pentingnya keseadaran untuk menjelajahi nilai-nilai primordial sebagai bahan rujukan untuk pengembangan Tari Kontemporer Indonesia ke depan. Landasan berfikir untuk mencari bentuk dari sumber kreatifitas yang memproyeksikan nilai-nilai yang mengakar di bumi sendiri merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Suryadi sangat percaya jika tradisi merupakan ladang emas yang tidak akan habis-habisnya untuk dieksplorasi dalam menciptakan karya-karya otentik.
Memang, pendekatan otoktonitas ini sudah sangat langka dilakukan oleh seniman dewasa ini karena terlalu sering mengadopsi konsep-konsep pemikiran barat yang sesungguhnya lebih banyak diraba-rabanya daripada direnungkannya. Dan, konsep pemikiran” Menggali Akar Menoreh Jiwa” yang dicuatkannya merupakan sebuah tawaran untuk melangkah kedepan dengan tidak melupakan awal keberangkatannya (kembali ke akar).
Lalu Suryadi yang memiliki pangalaman beragam pada berbagai jenis tarian, dan banyak bergabung dengan seniman tari dari berbagai latar belakang serta genre tari yang telah menerpanya, sedikit banyak telah mempengaruhi pribadinya dalam konsep kreatifnya. Hal itu ia wujudkan dalam proses kreatifnya yang tidak mau terjebak pada bentuk dan pola serta tehnik dari satu genre tari manapun. Justru, keinginannya adalah memperluas batasan-batasan yang terdapat dalam karya tari.
Bagi Suryadi, yang terpenting bagaimana ia bisa berbuat untuk melahirkan sesuatu tanpa harus memperhitungkan darimana sumber-sumber itu datang dan tidak “sungkan” terhadap kaidah-kaidah atau norma-norma yang biasanya ada padasuatu batasan gaya tari, maupun seni pertunjukan secara umum.
Dari banyaknya penggarapan tari yang ia ciptakan, Suryadi banyak menampilkan gerak-gerak yang aktraktif, enerjik, simbolik, bahkan cenderung imajinatif. Bisa mengalir, terpatah-patah atau berputar-putar pada satu fokus sesuai dengan kebutuhan artistiknya. Namun dibalik itu, setiap penari yang terlibat dalam garapannya dituntut untuk melakukannya secara intens dan total. Para penari harus bisa menggali potensi diri lewat gerak-gerak tari yang lahir dari dalam jiwa kepenarian mereka. Selain itu, iringan tari yang digarapnya-pun tidak terpaku pada satu konsep nuansa daerah tertentu, hal itu tergantung dari tema dan kebutuhan yang diusung lewat gagasan kreatifnya. Kecenderungan itu terlihat dari bagaimana ia menggarap “Feto Klosan Kiak Husi Timor” yang kental dengan nuansa iringan musik Timor. Sedangkan Tari Ba io io” mengambil idiom musik Padang-Sumatra Barat, dan tari “Ajatukrama, Sak-Sak, Para-mpuan, Perwangsa, Wangsa Menak, Raden Surya” mengambil nuansa iringan musik Lombok NTB.
Disamping itu, jumlah nayaga/sekaha yang mengirimgi tariannya tidak selalu memakai personal yang banyak, bahkan ia cenderung memakai konsep minimalis dengan menghadirkan satu orang pemusik sekaligus penata musik. Hal itu ketika ia menggarap “Wangsa Menak” yang penataan musiknya digarap Ary Juliyant dengan menggunakan satu alat musik biola dan vokal-vokal.
Kesan yang paling menarik dari hampir semua garapannya, Suryadi selalu mengusung persoalan perempuan. Perlakuan terhadap kaum perempuan dalam struktur social masyarakat kita yang masih menganggap bahwa laki-laki lebih superior dari perempuan dalam segala hal. Akibatnya, banyak perlakuan yang merugikan dan mengorbankan perempuan secara fisik dan kejiwaan. Perempuan selalu mengalami nasib yang tidak menguntungkan dibandingkan laki-laki. Penindasan, pelecehan sexual, diskriminasi, cinta kasih, sensualitas, ketegaran, kelembutan, kerapuhan dan keagungan perempuan terus menohok problematika masyarakat kita.
Rupanya realitas sosial dan kejiwaan perempuan itulah yang kemudian memberikan ruang ilham bagi suryadi dalam menyemaikan bibit kreatifitasnya. Bagi Suryadi, perempuan punya hak dan martabat yang sama dengan laki-laki. Jiwa perempuan adalah misteri yang harus terus digali agar bisa diselami dan difahami laki-laki.
Disamping itu, yang tidak kalah pentingnya dalam proses kreatif Suryadi adalah pengalaman estetis terhadap ibunya tercinta yang selalu memberi kasih sayang dalam memahami dan memaknai perjuangan Suryadi sebagai seorang seniman tari dan juga kehadiran Desak Leratinyngsih sebagai pemberi inspirasi dan pendamping dalam kisah cinta dan kehidupan Suryadi .
Alhasil, apa yang telah dilakukan suryadi dalam dunia kesenian, khususnya seni tari merupakan cermin dari kerja kerasnya untuk terus berbuat yang terbaik. r rabbah