Catatan Si Yoi South of Asia (3)
Teriakan dan salut adalah hal biasa kudapat dari penggendara yang lewat jalur Trans Sumatera. Kadang juga lembaran duit. Bunyi klakson semua orang tahu. Tapi bunyi klakson tanda salute pada sesuatu termasuk petualang seperti diriku, apa adabnya?
Suati kali, sepedaku sudah kugiring ke tepi, tepi sekali. Namun, klakson itu masih menyalak berkali-kali. Ada sedikit dongkol juga menyaksikan kesewenang-wenangan itu. Mentang-mentang paling besar di jalan, pengendara sepeda sepertiku digonggongi.
“Mantap, Mas!”
Seseorang berteriak dari kabin truk. Saya pikir belalai gajah Sumatera. Ternyata kenek truck, menjulurkan lengan menyodorkan lembaran duit dari genggaman tangannya. Seketika sikap mangkel dan dongkol itu lenyap dibawa laju truk dan menyisakan pikiran petualangan.
“Jangan-jangan lembaran 100 ribuan? 50 ribuan? 20 ribuan? Atau sekedar 10 ribuan atau 5 ribuan?”
Apakah besaran angka itu senilai dengan kesewenang-wenangan pikiran dan perasaan jangan-jangan? Seingatku, lembaran uang yang disodorkan kenek truk itu duit 2 ribuan. Tapi ada yang tak wajar dalam perasaanku. Dua ribuan?
“Jangan-jangan?” pikirku. Seorang Imam tak akan membiarkan aku menerka dengan matematikaku untuk sekedar bersyukur sekaligus prihatin dengan kecenderungan dari kabin apapun itu.
***
Sepeda terus kukayuh. Entah sudah sampai di kilometer berapa. Tiba-tiba satu ledakan besar memecahkan lamunan dan keletihan. Suaranya menggema di seputar area kebun-kebun sawit dan kebun karet di sisi jalan yang kulewati.
Seisi hutan terperanjat. Sosok-sosok pengendara sepeda motor dan mobil terkesiap. Begitu juga dengan aku. Ada apa? Rupanya ban truk sarat muatan meletus. Suaranya mengagetkan seisi hutan di Sumatera.
Aku tak memikirkan koran, aku tak memikirkan pasar. Aku tak memikirkan pacar, aku tak memikirkan demo BBM, aku tak mungkin memikirkan pembrantasan korupsi. Aku tak mungkin memikirkan pemilihan Presiden. Aku tak mungkin memikirkan itu semua. Aku merasa keringat pikiran, dari jarak bersepeda yang sudah kutempuh mendadak kering dan terhisap oleh bunyi ledakan itu.
Pal jalan tak mengingatkan tentang berapa jarak yang sudah kutempuh, nama kabupaten atau nama kecamatan, iklan atau papan-papan kedai dan warung makan. Pun tak mengingatkan apa yang sudah kumakan atau kuminum. Yang kuingat dan kuingin saat itu adalah menyulut sebatang rokok, prilaku nyandu dalam petualanganku. Katanya agama itu candu.
Apakah candu itu serupa ingatan ditengah petualanganku bersepeda?