Salah satu aset masyarakat suku bangsa Sasak adalah produk kerajinan yang bernama Tikar Mendong (Tiper Mendong : Sasak). Sentranya berada di Dusun Paok Pondong, Desa Lenek, Kecamatan Lenek, Kabupaten Lombok Timur (Lotim). Namun, para pengrajin masih memerlukan upaya pembinaan.
Tikar Mendong Paok Pondong ini sudah menjadi ikon Dusun Paok Pondong Desa Lenek. Dusun ini dapat ditemukan lewat jalur gang samping Puskesmas Lenek setelah menempuh jarak sekira 500 meter. Atau bisa juga lewat gang di samping Universitas Gunung Rinjani (UGR) Gapuk, Kecamatan Suralaga, Kabupaten Lotim.
Ketenaran Tikar Mendong Nampak dari pemasarannya sudah merambah ke berbagai daerah seperti Sumbawa, Bali dan Jawa. Produk kerajinan khas ini dijual secara keliling masuk kampung keluar kampung di seantero Pulau Lombok atau didistribusikan lewat para pengepul.
Seiring pengaruh zaman, belakangan Tikar Mendong kalah bersaing dengan tikar plastik yang memang diserupakan model dan jenisnya dengan Tikar Mendong Paok Pondong. Padahal, sebagaimana disampaikan Ujip Dasmin, tetua Paok Pondong, sejak dirinya kanak-kanak sudah mengenal Tikar Mendong.
“Dulu, setiap rumah memiliki satu alat tradisional untuk pembuatan Tikar Mendong. Namun sekarang tidak lagi karena tergerus dengan pengaruh budaya zaman modern yaitu kalah bersaing dengan tikar plastik,” ungkap Ujip Dasmon, Ahad (27/1/19) lalu.
Bagi Suardi, SE dan Sahmin, warga setempat, perlu ada inovasi dan pengenalan lebih jauh produk kerajinan yang telah mampu memberikan manfaat bagi sebagian besar masyarakat Dusun Paok Pondong ini.
Menurutnya, kedepan perlu terobosan jitu, tidak terpaku mengharapkan dari pemerintah desa saja, namun melakukan hubungan kerjasama serta binaan dengan pihak ketiga atau stakeholder. Dia optimis Tikar Medong dari segi kwalitas tidak kalah dengan tikar lainnya.
“Tikar Mendong ini hangat di waktu musim dingin, dan sejuk ketika hawa panas atau musim kemarau,” akunya.
Untuk itulah mereka memiliki konsep terkait dengan pengembangan produk kerajinan Tikar Mendong agar tidak goyah dan terlupakan . Caranya, manajemen mulai dari budidaya rumput mendong sebagai bahan baku, permodalan, design, dan pemasaran.
“Bahkan kami juga sangat berharap adanya stakeholder, apalagi ada investor yang siap menginvestasikan modalnya,” harap Suardi.
Omzet dan Harapan
Para pengrajin Tikar Mendong mengakui permasalahan yang sangat mendasar adalah pembinaan dan dukungan agar kegiatannya sebagai pengrajin bisa berjalan dengan lancar dan berkelanjutan. Saat ini para pengajin banyak bergantung dari para pengepul. Terkadang lebih dahulu mereka menyerahkan panjar untuk pengadaan bahan baku dan lainnya. Sehingga sering omzet (produk dan hasil penjualan) jauh dari harapan.
“Rata-rata dalam setengah hari kita dapat membuat 2 buah tikar dengan ukuran 1 meter x 70 cm. Harga dasar dari kita Rp 20.000 hingga Rp 25.000. Dengan modal hingga Rp 800.000 kita mendapatkan hasil lebih sejumlah Rp 400.000 hingga Rp 500.000 perbulan,” tutur Winni Astuti (21 tahun), salah seorang pengrajin Tikar Mendong di sela-sela pembuatan tikar di rumahnya, Dusun Paaok Pondong Desa Lenek, Ahad 27/1/19 lalu.
Sementara itu, pengrajin lain, Sahminasi alias Inak Lusiani, mengakui pekerjaannya sebagai pengrajin hanya sambilan. Karena warga di lingkungannya sebagian besar sebagai petani maka pada saat kegiatan penanaman atau pun pada saat panen mereka sebagai buruh, sehingga dapat menambah nilai rupiah untuk kenutuhan rumah tangganya.
“Jeri lamun na arak jak dengan nanem atau begabah, endek ta minak tiper niki nggih. Sengak luean mouk ta si sejelo,” katanya yang dalam bahasa Sasak berarti. “Jadi, kalau ada orang nanam padi atau panen padi, kita tidak membuat tikar. Karena lebih banyak upah kita dalam sehari itu)”.
Baik Winni Astuti atau Inak Lusiani, mengakui bahwa sebenarnya mereka butuh tambahan modal. “Sehingga kita tidak lagi banyak bergantung dari orang atau pengepul,” harapnya. kusmiardi