Wah ta belek ite batur pada belajar
Endak males, endak lilus begawean
Pada nambah
Talet bunga to lek lendang jari benang
Wah na si belek batur nine belajar nyesek
Sesek kereng sesek kereng jari dodot
Metandangan
Endak girang batur nine lo na nyisik
Munna girang batur nine lo na nyisik
Lenge gati…lenge gati
Endarak lain batur doang kerantekna
Mauk dosa…mauk dosa
Demikian bagian dari syair/lagu “Sesek Kereng” cipt. NN yang terinspirasi dari aktivitas menenun kain tradisional warga masyarakat Suku Bangsa Sasak. Bahkan, pada era tahun 60-70 an masih banyak areal pertanian/perkebunan di Pulau Lombok ditanami kapas (Bunga : Sasak) sebagai bahan baku tenunan ini.
Inak Sumiyah, perajin yang sudah berusia 70 an tahun asal Desa Kembang Kerang Daya Kecamatan Aikmel Lombok Timur (Lotim), misalnya, dengan kaki berselonjor di antara alat tenun “Sesek” masih eksis menghentakkan gemulai tangannya yang sudah keriput. Dengan cekatan dia menenun dari benang hingga menjadi sebuah kain. Duduk di sampingnya, seorang perempuan cantik,, Rian Novianti namanya.
“Niki papun tiang nggih (Ini cucu saya ya),” katanya dalam bahasa Kembang Kerang yang kental. Sang nenek masih bersuara lantang dan jelas, penglihatannya pun tergolong terang tanpa berkacamata.
Sedangkan perempuan yang duduk di sampingnya, Novianti, masih kuliah. Walau demikian, Novianti, panggilan akrab Rian Novianti, turut membantu melestarikan tenunan.
Menurut Novianti, neneknya masih bersemangat melakukan pekerjaan yang sudah digeluti sejak kecil itu. Malahan usia alat tenun yang dipakai neneknya sudah berumur ratusan tahun.
“Nenek saya menerima alat tenun ini dari orang tuanya yang juga menerima dari orang tuanya dahulu,” imbuhnya, sambil menengok alat tenun dari kayu yang masih kuat tersebut (tanpa ada lapuknya).
Merambah hingga Kota Metropolitan
Menurut Novianti, tenun tradisional Sesek Kereng termasuk dari Kembang Kerang Daya tak kalah kualitasnya dengan kain tenun dari daerah lain. Kini tenunan itu sudah mulai merambah ke daerah lain dan kota-kota besar dan sudah banyak dilirik oleh para desainer busana terkenal.
Karena itu, bersama suami tercinta dia mengembangkan tenunan tradisional ini dengan berbagai strategi, mulai dari pengembangan design maupun pemasaran. Dia dibantu beberapa tenaga dari warga masyarakat setempat.
Sedikitnya 6 orang pengrajin membantu Novianti dalam mengembangkan usaha peninggalan nenek moyangnya itu. Hasilnya, selain dipasarkan ke beberapa warga masyarakat lokal, juga lewat artshop yang ada di Kembang Kerang Daya.
“Alhamdulillah, suami saya selain aktif di artshop juga menjalin kerjasama dengan beberapa pihak dari luar daerah,” aku Novianti.
Desain yang dirancang merupakan pengembangan bentuk dasar motif yang ada. Dasar motif tenun tradisional Sasak “Sesek Kereng” ini adalah Mancis, Menanti dan Endak.
“Kita tidak lepas dari dasar motif tenun tradisional khas sasak Sesek Kereng. Kita aktif untuk berkreasi secara inspiratif untuk merancang dan memperkaya motif, sehingga banyak alternatif bagi para pencinta tenun tradisional khususnya produk dari Pulau Lombok termasuk Desa Kembang Kerang Daya,” tandas Novianti.
Kain hasil tenunan di Desa Kembang Kerang Daya umumnya memiliki panjang 4 meter. “Kain tersebut bisa untuk kain sarung, untuk kegiatan adat-istiadat, baju/kemeja, sajadah maupun untuk gendongan,” imbuhnya.
Untuk pemasaran, di tingkat pengrajin harga terendah dibandrol mulai dari Rp 250.000 hingga Rp 500.000 perlembar. “Relatif mahal memang, karena pengerjaannya rata-rata butuh waktu 1 minggu perlembar,” ungkapnya. kusmiardi