Mataram, Literasi- Dalam rangka memperkenalkan dan menanamkan nilai-nilai yang terdapat dalam koleksi naskah kuno kepada masyarakat, Museum Negeri NTB menggelar diskusi Bedah Naskah Bertajuk ‘Membedah Tuntas Naskah Puspakerma’ di Aula Samalas Museum NTB.
Ketua Pelaksana Bedah Naskah, Irwan, S.Pd, Selasa (13/6/2023), menyampaikan bahwa kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka meningkatkan apresiasi dan pengetahuan masyarakat tentang naskah lontar sebagai upaya melestarikan budaya masyarakat Sasak dalam membaca lontar.
“Kegiatan bedah naskah lontar ini menjadi bagian dari kegiatan museum dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai Lembaga pelestarian kebudayaan,” ungkapnya seraya menambahkan, secara teknis, pihaknya mempunyai tiga kegiatan besar yaitu, perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan.
Sementara itu, Kepala Museum NTB, Ahmad Nur Alam, S.H., M.H, dalam sambutannya, memaparkan berdasarkan Peraturan Daerah No. 16 Tahun 2021, salah satu indikator pemajuan kebudayaan adalah pelestarian yang objek pemajuan diantaranya manuskrip.
Menurutnya, adanya diskusi ini sebagai upaya menghidupkan ekosistem kebudayaan serta meningkatkan, memperkaya dan menyebarluaskan pengetahuan naskah lontar kepada masayarakat umum.
“Pada diskusi bedah naskah ini kita berharap adanya dialektika kebudayaan, yang nantinya dialketika tersebut akan menjadi pengetahuan dan iformasi untuk merawat ekosistem kebudayaan kita,” ujarnya.
Ia mengatakan dalam pemajuan kebudayaan, Pemerintah Provinsi NTB telah mempunyai tiga lembaga sebagai pemangku kebijakan dalam pemajuan kebudayaan yaitu, Bidang Kebudayaan di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Taman Budaya dan Museum.
“Ada indikator-indikator yang menjadi kinerja utama bagi unit-unit kerja dibawah Pemerinta provinsi NTB, salah satunya yaitu pelestarian kebudayaan,” imbuhnya.
Nur Alam berharap naskah yang dimiliki dapat memberikan pelajaran tentang kondisi sosial kultural pada saat naskah itu dibuat. Sehingga pelajaran-pelajaran dari nilai kebudaayan itu bisa menjadi solusi bagi permasalah bangsa.
“Kami di museum itu berpikir bahwa sebenarnya banyak persoalan yang kita hadapi, berawal dari terlepasnya budaya. Oleh karenanya, kami berharap dengan kajian seperti ini dapat memberikan kekayaan dialektika kebudayaan bagi kita,” harapnya.
Narasumber, Dr. Aswandikari Suranggana, M.Hum, (Dosen FKIP Universitas Mataram), dalam materinya menjelaskan bahwa naskah itu merupakan ungkapan bahasa sebagai pencerminan jiwa. Jadi naskah itu merupakan ekspresi jiwa secara halus dan lembut.
“Jadi kalau kita keluarkan bahasa secara halus tentu itu ekspresi jiwa yang halus,” katanya.
Menurutnya, di dunia akademik bahasa itu terkait dengan logika, sedangkan sastra berkaitan erat dengan rasa batin. Jadi naskah lontar Puspakerma itu disampaikan dengan bahasa yang sederhana, Bahasa yang lembut, hanya saja generasi muda tidak mengerti dan paham sehingga hanya dikonsumsi oleh para budayawan dan praktisi budaya.
“Sehingga harus diupayakan supaya naskah itu harus diterjemahkan, harus sampai bisa dicerna oleh pembaca. Karna naskah ini merupakan benda mati. Yang bertugas menghidupkan sekarang ini adalah kita sebagai pembaca,” tuturnya.
Narasumber lain, Lalu Sadarudin, S.Pd, (budayawan), dalam materinya menjelaskan bahwa semua naskah tentu mempunyai pesan pesan moral. Sehingga pesan tersebut tiak terlepas dari nilai-nilai agama.
“Dalam naskah ini pada umumnya dibuka dengan kalimat asmaul husna. Sehingga itu menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya dan sebgainya itu selalu bersandar pada nilai.
Yasin (pemerhati budaya), mengatakan bahwa Puspakarma ini merupakan suatu syarat untuk melakukan ikhtiar. Selain itu, Puspakarma itu juga sebagai jalan untuk menyukuri nikmat.
“Banyak tempat Puspakerma ini dipakai sehingga paling luas penggunannya,” cetusnya.
Adapun peserta yang menghadiri kegiatan diskusi ini berjumlah 50 orang yang terdiri dari budayawan, guru, mahasiswa, maupun masyarakat umum. Diskusi berjalan cukup bergairah sampai penutupan berlangsung. md