Kebangru’an (Sasak) berarti kesurupan atau trance. Hal ini dipercaya masyarakat sebagai akibat adanya kekuatan yang berasal dari mahluk tidak terlihat yang menguasai seseorang,
Beberapa kalangan masyarakat Desa Telaga Waru, Kabupaten Lombok Timur, meyakini pada fenomena kebangru’an, sosok yang merasuki tubuh seseorang merupakan roh para leluhur yang hendak memberikan petunjuk-petunjuk tertentu yang mengarah kepada kebaikan bagi kehidupan masyarakat.
Prosesi ritual Kebangru’an meliputi tarian, nyanyian, pengobatan, do’a, dan bacaan serta proses akhir yaitu datangnya Raja Palak.
Rangkaian prosesi dengan kelengkapan properti (kelewang/pedang, kacamata hitam, bunga-bunga, sirih, pinang, kapur, sesajen, kelapa, rokok, baju adat, perhiasan, kursi, tempat tidur) tersebut mengandung simbol-simbol dan kearifan tersendiri.
“Semuanya bermakna dan bernilai bagi kehidupan yang menggambarkan perjalanan kehidupan manusia dari mulai diberikannya ruh sampai menuju perjalanan akhirat,” terang Akeu, Ketua Lembaga Seni Menduli Slayer, Ahad (29/01/2023).
Sebagai suatu kearifan lokal masyarakat setempat, dalam penerapannya diiringi musik tradisional (sebagai penghubung antara manusia dengan Tuhannya) bernada pentatonis (pelog, selendro, dan gabuan antara keduanya). Skenario dari ritual Kebangru’an ini bernarasi syair (dalam bentuk hikayat) yang mengandung pesan bernilai spirit.
“Keseluruhan prosesi ritual Kebangru’an ini mulai dari awal hingga akhir (kelengkapan musik, persiapan ritual, permintaan proferti, menari, pingsan, pengobatan, pertemuan dan perpusahan si penderita Bangro’ dengan si raja palak) memiliki pesan spritual,” tutur Akeu.
Dari rangkaian prosesi tersebut ada harapan untuk kesembuhan si penderita Bangro.
“Ritual Kebangro’an ini memang sebagai suatu teknik pengobatan untuk kesembuhan si penderita kebangro’an,” katanya seraya menambahkan bahw seni tradisi Kebangru’an tercatat sebagai inventarisasi Hak Kekayaan Intelektual Komunal di Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia RI (Kusmiardi).