Mataram, Literasi-Kendati ada sejumlah event nasional dan internasional yang digelar di NTB sejak beberapa tahun lalu, hingga saat ini masih terdapat empat isu besar pariwisata yang belum terpecahkan.
Empat isu pariwisata tersebut adalah menyangkut angka kunjungan wisatawan yang cenderung stagnan dengan jumlah 3,5 juta per tahun. Kedua, lama tinggal (length of stay) wisatawan yang cuma 2,1 hari saja. Ketiga, spending money wisatawan di NTB juga masih sangat rendah atau hanya sekitar Rp 11 triliun. Kempat, tingkat kunjungan kembali wisatawan (repeater) yang hanya di bawah 10 persen saja.
Memiliki sebanyak 28 event nasional maupun internasional yang sudah masuk dalam calendar of event tahun 2023 adalah sebuah harapan besar menjadikan NTB lebih mendunia. Pasalnya, NTB merupakan destinasi yang memiliki produk pariwisata berkelas, infrastruktur yang baik, atraksi seni yang menarik, keramahan masyarakat, dan kondusifitas yang terjaga sebagai satu sistem pariwisata.
Namun, salah satu hal yang perlu dicermati berkaitan dengan isu-isu tersebut adalah kecenderungan wisatawan menikmati alam dalam waktu yang singkat. Sementara ini, para wisatawan seakan-akan datang lalu pulang tanpa memiliki banyak pengetahuan dan cerita dari kunjungannya itu.
Persoalannya, jika di Bali para wisatawan bisa tinggal lebih lama dengan angka belanja yang tinggi, mengapa di NTB tidak?
Para wisatawan sebetulnya memiliki keinginan mendapat pengetahuan tentang berbagai obyek dan produk dengan pernik cerita di dalamnya, bahwa dibalik keindahan Gunung Rinjani atau dari hal kecil menyangkut tradisi masyarakat, banyak aspek yang perlu mereka ketahui.
Berkaca dari sektor pariwisata di belahan dunia lain, story telling memegang peran kunci dalam menelusuk relung hati wisatawan. Dalam story telling, wisatawan tidak semata menikmati pemandangan alam, melainkan memahami dan mengetahui banyak aspek dari apa yang dilihatnya.
Produk-produk yang bercerita itulah yang diharapkan membangun keingintahuan wisatawan sehingga berkorelasi dengan lama tinggal mereka. Sebab, setiap yang disaksikan wisatawan memiliki cerita. Dan, itulah yang selayaknya dikelola tidak saja untuk memberi pengetahuan bagi wisatawan melainkan juga memberi keuntungan bagi masyarakat.
Bentuk Pemasaran
Dosen Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Mataram, DR.Made Suyasa, story telling merupakan bentuk pemasaran dari post advertising yang berkembang di dunia kepariwisataan.
“Pasca orang berpromosi ada tawar-menawar. Post advertising menginisiasi bahwa perlu ada sejarah terhadap produk,” katanya seraya menambahkan bahwa sektor kepawistaan kemudian mengadopsi mengggunakan story telling.
Dalam mengembangkan pariwisata, story telling paling menarik karena wisatawan akan tahu tentang detinasi dan produk wisata. Artinya, wisatawan tidak hanya menikmati destinasi tetapi juga mendapat nilai lebih seperti pengetahuan tentang sesuatu.
“Justru itulah yang diharapkan wisatawan ke depan,” katanya. Namun, sekarang belum menjadi kebiasaan yang semestinya sudah dikerjakan pelaku pariwisata kreatif.
Ia menyontohkan ketika memasuki Gunung Rinjani, masing-masing pintu masuk memiliki cerita sendiri. Sebutlah saat mencapai Air Terjun Benang Kelambu. Air terjun ini punya cerita sebagai permandiannya Dewi Anjani yang perlu diketahui wisatawan.
Di KLU terdapat juga upaya pemurnian pemikiran ketika hendak mendaki Gunug Rinjani, yakni disembek terlebih dahulu. Pesan-pesan yang disampaikan kepada wisatawan, kata dia, berperan penting dalam kelestarian Rinjani.
“Cerita seperti ini adalah story telling,” ujar Suyasa.
Dengan cara ini, wisatawn bisa lebih panjang tinggal di Lombok karena banyak cerita yang bisa diperoleh selama melakukan perjalanan wisata di NTB.
“Sekarang bagaimana mengemas produk wisata yang bisa banyak memunculkan story telling. Missal dari mendaki gunung saja ditemukan banyak story telling. Sampai di Puncak Rinjani juga ceritanya masih banyak,” paparnya. ian