Mataram, Literasi-Banyak kegiatan pariwisata yang membuktikan bahwa host berlaku sebagai pengajar dan pemberi ilmu bagi guest. Sehingga, host seperti guru yang membimbing tamu pada pengetahuan baru. Kini muncul istilah crearive tourism yang menjadikan orang lokal sebagai host bagi tamunya yang berwisata.
“Jadi host bukan semata pelayan. Kreativitasnya memberikan pengetahuan kepada wisatawan, seperti pengetahuan memasak. Ini jadi daya tarik wisata baru, ” kata Guru Besar Universitas Udayana, Prof. Darma Putra, pada Kuliah Umum di hadapan Civitas Akademika Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Mataram, Jumat (7/10). Kuliah Umum itu bertajuk “New Paradigm of Host Guest Relations on Creative Tourism”.
Salah satu creative tourism adalah adanya cooking class. Kegiatan wisatawan diantaranya memanfaatkan dunia kuliner lokal untuk ikut serta sebagai subyek. Aktifitas lain pun bisa dijadikan creative tourism seperti seni pertunjukkan dan kebiasaan lain yang unik dan tidak ada di lokasi asal wisatawan.
Menurut Darma Putra, dalam creative tourism, salah saunya juga berlangsung pemanfaatan lingkungan sekitar seperti alam sebagai bagian dari nilai lebih. Ia menyontohkan sekehe kecak di Bali yang dipertontonkan dengan background Pura Uluwatu dengan pemandangan sunset.
“Jadi wisatawan tidak menyentuh pura maupun sunset, melainkan memanfaatkan kearifan lokal dan keindahan alam, ” paparnya.
Diperkenalkan Tahun 2000
Creative tourism adalah istilah yang diperkenalkan tahun 2000 oleh ahli pariwisata bernama Richard. Sebelum istilah ini muncul, orang menyebut culture atau nature tourism. “Dulu tak ada cooking class kini ada, ” kata ilmuwan internasional yang mantan wartawan Bali Post ini.
Kreativitas tersebut muncul antara orang lokal dan wisatawan. Hal ini sekaligus meniadakan asumsi masa lalu yang menyebut pariwisata sebagai bentuk penjajahan untuk melihat orang primitif, memotret orang terkebelakang sebagai objek untuk difoto dan lain-lain. Berangsur setelah perkembangan dan inovasi pariwisata, tugas host dan guest tidak semata sebatas pelayanan.
“Dalam creative tourism budaya tidak dimanipulasi dan diekaploitasi melainkan diberikan tatanan yang lebih indah, ” cetusnya seraya menyebut salah satu bentuknya menyediakan kafe dengan memanfaatkan keindahan alam.
Perkembangan itu tidak mustahil mengingat semua bentuk pariwisata mesti memiliki unsur kreatif sebagai bentuk lanjutan pariwisata kreatif.
“Ketika host mencoba mengajar melukis kepada wisatawan, itu bukan pelayanan biasa melainkan pelayanan ilmu, ” teranng Darrma Putra. Disisi lain creative tourism memberikan kesempatan kepada wiaatawan mengembangkan potensinya. Dalam kegiatan ini host dan quest bersama sama melakukannya sehingga memberi dampak ekonomi dan kesetaraan.
“Pergeseran terjadi dari menikmati secara aktif menjadi menjalani secara aktif, ” ujarnya. Dalam cooking class turis tetap mengeluarkan anggaran namun turis juga turut serta masak, menyajikan kecuali mencuci sehingga ada pergeseran dari obyek menjadi subyek.
Cooking class bisa mendatangkan pendapatan tinggi. Contoh cooking class di Bali, wisatawan bisa merogoh kocek Rp 350 ribu hingga Rp 850 ribu. Hebatnya, wisatawan dengan bangga memamerkan keahlian barunya itu di medsos, membagikan pengalamannya yang dibagi kepada kawan-kawannya sehingga menjadi promosi tersendiri.
*Creative tourism memberikan bentuk hiburan baru yang membuat daya tarik yang lama makin baru, ” ungkap Darma Putra. Antara host dan quest, lanjut Darma Putra, kini sudah mengalami pergeseran yang meningkatkan energi pariwisata.ian