SELONG, Literasi- Tetulak awalnya disebut dengan kata Tatulak. Ta berarti kita, jadi Tetulak Tamperan dimaknakan sebagai adanya upaya kita sebagai masyarakat untuk kembali kepada kebenaran yang hakiki yang memang tak luput dari salah dan dosa. Tetulak Tamperan atau Rebo Bontong ini merupakan tradisi yang terjaga dan terawat serta dilaksanakan setiap tahun pada minggu ke 4 bulan Safar tahun Hijriah.Tradisi ini menjadi kearifan lokal di Desa Pringgabaya Lombok Timur (Lotim) Nusa Tenggara Barat (NTB).
Keberadaannya berawal dari turunnya wabah penyakit dan musibah. Ketika itu akhir bulan Safar hari Rabu yang kebetulan berbarengan dengan masuknya bulan Rabiul Awwal. Maka, diimbau kepada masyarakat untuk waspada dan mengambil langkah terbaik. Oleh tokoh agama dan pemerintahan kemudian menyarankan untuk bersuci (saat itu banyak yang ke laut) dengan mandi dan tidak berada di rumah.
“Itulah sebabnya kegiatan ini disebut sebagai Rebo Bontong dan diadakan di pantai yang bertepatan dengan minggu keempat bulan Safar pada hari Rabu (Rebo : Sasak),” tutur Sekdes Pringgabaya, Khairul Azmi, S.IP., Rabu (21/09/2022).
Khairul Azmi menjelaskan, kegiatan ini kemudian diiringi dengan pembuatan dan menghadirkan sesajian (Tetulak : Sasak) sebagai ungkapan syukur kepada Allah atas nikmat iman, rezeki dan kesehatan serta berbagi kepada sesama dan lingkungan sekitar (manusia dan laut sebagai lahan mata pencaharian). Tetulak ini kemudian dikenal sebagai Tetulak Tamperan/pesisi (pantai) atau Rebo Bontong.
Tetulak Tamperan yang dibuat pada prinsipnya sama dengan Tetulak Desa yaitu pembuatan Sonsonan 5. Bedanya, padaTetulak Tamperan ada pada adanya Ancak yang dibuat dengan batang dan daun tebu sebagai ornamennya yang berisi olahan daging ayam, ketan (reket : Sasak), buah dan sayur, shalawat. Sebagaimana disampaikan oleh tokoh masyarakat pesisir pantai Ketapang Desa Pringgabaya, Amaq Dian.
“Ancak itu berisi olahan daging ayam panggang, pisang (puntik : Sasak), ketan (reket : Sasak) kuning, reket putik, 44 jenis buah-buahan, 44 jenis sayur-sayuran, shalawat berupa 33 keping uang berlubang (kepeng tepong : Sasak) masa dulu,” kata Amaq Dian. Ancak ini diarak menuju pantai diiringi dengan Sonsonan 5 (seperti di Tetulak Desa). “Di dalam Ancak ini juga terdapat kepala (kerbau atau kambing, sesuai kemampuan) yang diiringi dengan iringan Sonsonan 5 dan Sonsonan pengiring,” imbuhnya.
Ada 5 tingkatan yang kemudian dikenal sebagai Sonsonan 5. Dengan tata krama adat dan nilai religi di atas segalanya, maka Sonsonan 5 ini disajikan dengan apik memenuhi etika dan estetika kearifan lokal adat istiadat setempat yang dihajatkan untuk kepentingan masyarakat yang dipusatkan di pantai.
“Gawe atau pergelaran Tetulak Tamperan/Rebo Bontong di Desa Pringgabaya ini kemudian dilaksanakan tiap tahun mengikuti kalender Hijriah yaitu minggu keempat bulan Safar dengan mengambil hari Rabu,” kata Khairul Azmi, S.AP., Sekdes Pringgabaya.
Kelima Sonsonan Tetulak bahan olahan utamanya dari 44 ekor ayam itu adalah : 1). Sonsonan Ratu 2). Sonsonan Pangeran Ratu 3). Sonsonan Rasul Mustafa 4). Sonsonan Jinem 5). Sonsonan Waliyullah. Sonsonan 5 yang berasal dari olahan 5 ekor ayam ragam tingkatan warna ini kemudian dikenal sebagai Iduk Tetulak, disajikan khusus dengan memakai wadah Dulang. Sedangkan dari 39 ekor ayam itu disebut sebagai Sonsonanan Pengiring (Pegiring Tetulak), disajikan dengan memakai wadah nare, berisi 744 buah ketupat berukuran kecil dengan menu olahan dari daging 39 ekor ayam ditambah dengan menu ala kadarnya. Mendampingi kedua Sonsonan tersebut berupa Shalawat berupa 775 keping uang logam (Kusmiardi/bersambung).