Minggu , Desember 8 2024

DR. I Putu Gede M,Par : Kriteria Desa Wisata Itu Adanya Keunikan

DR.I Putu Gede, M.Par

Mataram, Literasi-Kendati aparatur desa di NTB ramai-ramai menjadikan wilayahnya sebagai desa wisata, tidak semua punya potensi yang diharapkan. Pasalnya, salah satu kriteria desa wisata adalah harus memiliki keunikan, atau bukan suguhan yang dibuat-buat.

Wakil Ketua I Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Mataram, DR. I Putu Gede,M.Par, memaparkan ada kecenderungan motif membentuk desa wisata sebatas pada orientasi pergerakan ekonomi dengan ekonomi kreatif sebagai daya dorong inspirasinya. Kesan ATM (amati, tiru dan modifikasi) akhirnya membuat desa wisata cenderung dipaksakan.

Menurut Putu Gede, hal yang bisa disebut keunikan desa bisa dilihat dari sisi budaya dan kebiasaan masyarakat. Mengambil contoh di Kabupaten Lombok Utara, Desa Gumantar, Kecamatan Bayan, bisa dibilang unik dari sisi  adatnya.

Putu Gede yang melakukan riset terkait desa wisata menemukan tiga klasifikasi desa wisata yang disebut Gudasir (gunung, dataran dan pesisir).  

Ada 8 kriteria dan 78 subkriteria desa wisata. Dalam kreteria generik, desa wisata digolongkan kedalam  rintisan, berkembang, maju, dan mandiri.

“Dari kriteria itu hampir semua kriteria generik tidak mewakii pesisir dan dataran, yang dilihat hanya pegunungan,” katanya.

Ia menyebut yang membedakan gunung pencirinya adalah ekowisata. “Budaya dengan ekonya, teknologinya eko. Itu harus dikembangkan, bukan ramai-ramai mencari seperti kuliner dan kolam renang,”ujar Putu Gede seraya menyebut bahwa kolam renang itu sesuatu yang modern.

Jika pegunungan dengan ekowisatanya, lanjut dia, di dataran basisnya adalah agrowisata seperti daerah pertanian, budaya pertanian dan seni pertanian sehingga bisa dikembangkan.  Namun, dalam pengembangan desa wisata harus terkolaborasi dengan desa lain alias tidak harus berada di satu desa agar saling mengisi.

“Yang membedakan kalau pertanian adalah keunikan yang tak dimiliki desa lain seperti beras merah atau padi hitam. Dari padi hitam bagaimana proses menanam dan produk apa yang dihasilkan. Padi hitam itu sudah unik,” paparnya.

Soal apakah desa wisata harus punya homestay sebagaimana kriteria Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI), kata Putu Gede, tidak harus.

“Yang krusial mereka tidak bisa membedakan desa wisata dengan wisata desa. Padahal sering kali itu wisata desa yang tidak ada keunikan yang mengakar,” katanya.

Sesuatu yang diberikan desa wisata adalah pengalaman dan kesan seperti menginap di suatu desa dimana di desa itu ada suara jengkrik atau kodok, petani menggeret sapi, petani tak pakai baju membawa cangkul. Pun aroma desa itu seperti aroma kopi.

“Kalau itu disuguhkan dengan kondisi riil desa dengan menggali potensi dan kapasitas desa akan luar biasa. Namun, itu tidak terwakili sehingga penilaian ADWI masih prematur,” ujarnya.

Menurut Putu Gede, desa pegunungan yang sementara ini memiliki keunikan dan layak disebut desa wisata adalah Gumantar dan Senaru di KLU. Di desa itu alamnya unggul seperti hutan adat, air terjun, kebun kopi dan tradisi adat seperti Maulid Adat.

Sayangnya, Desa Gumantar yang sangat potensial tersebut belum dilihat atau dikembangkan kendati memiliki kekhasan yang serupa dengan Senaru. Adanya komitmen pemerintah memungkinkan terbangunnya  desa wisata. Artinya, lanjut Putu Gede, desa tak bisa bergerak hanya dengan satu stakeholder saja karena memerlukan dukungan lain.

Terkait klasifikasi desa dataran dan pesisir yang layak dijadikan desa wisata, kata dia, sementara baru ada embrionya. Hanya karena tidak mendapatkan sentuhan, desa itu tidak muncul mewarnai keberadaan desa wisata. ian

Check Also

Lomba Mendongeng HUT DWP, Perempuan Harus Berdaya

Ketua Dharma Wanita Persatuan Diskominfotik NTB, Anggreni,S.T.,M.T. mengikuti lomba mendongeng pada rangkaian lomba Peringatan HUT …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *