SELONG, Literasi – Situs Budaya Makam Beru di Desa Wanasaba, Kecamatan Wanasaba, Lombok Timur (Lotim), NTB, memiliki banyak cerita. Situs tersebut disahkan dengan SK Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lotim tahun 2010 dan SK Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lotim pada tahun 2020.
Berada dalam areal pemakaman umum seluas 6 hektar Makam Beru dibangun pada tahun 2006 dimasa pemerintahan Bupati Lotim DR. H.Moch.Ali bin Dachlan (2003 – 2008). Pada saat itu dilakukan pengajuan sebagai Situs Cagar Budaya yang harus dilindungi dan dilestarikan sebagai bukti benda bersejarah masa lampau.
Baru pada tahun 2010, SK sebagai Situs Cagar Budaya diterbitkan pada masa pemerintahan H.Sukiman Azmy periode 2008 – 2013 lewat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disbudpar) Lotim. SK sebagai Situs Budaya Makam Beru kembali diterbitkan tahun 2020 melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lotim.
Juru pelihara Makam Beru, H. Lalu Sukradis, S.Pd., mengemukakan petilasan walyullah dari tanah Jawa di Makam Beru itu tertulis dalam Kitab Mangui, sebagaimana disampaikan oleh Raden Arya Baya (Ninik dari Haji Lalu Sukradis). “Namun sayang, buku tersebut dibawa ke Sulawesi oleh salah seorang paman dan tak dibawa kembali. Hngga sekarang buku tersebut tak ditemukan,” tutur pensiunan guru SMPN 3 Wanasaba ini.
Ia menuturkan pada tahun 1200 an (abad 13 M), seorang ulama dari Tanah Jawa berangkat ke Gumi Sasak Lombok hingga sampai di Bayan (Pelabuhan Carik) Lombok Utara dan menetap di sana. Tidak lama kemudian sang ulama mendapat mubassyirat bahwa Gunung Samalas (Gunungj Rinjani saat ini) akan meletus.
Karena itu, bersama pengiringnya ia mengamankan diri ke Gunung Anaq Dara (Mangkudara : Indonesia). Dan, benar adanya, Gunung Samalas meletus pada tahun 1257 M yang getarannya maha dahsyat hingga Eropa selama tujuh hari tujuh malam. Namun, erupsinya tidak mengalir ke seputaran Gunung Anak Dara sehingga ulama itu pun selamat.
Sementara itu, sekelompok orang (pengungsi di sebuah tempat di seputaran Gunung Samalas) dipimpin oleh seorang waliyullah berdo’a agar Allah SWT menghentikan letusan Gunung Samalas. Setelah Gunung Samalas berhenti meletus, di tempat berdo’a tersebut ditemukan puing-puing kerajaan tertua di Lombok. Tempat itu kemudian diberi nama Selaparang yang berarti batu penentuan.
Mengetahui Gunung Samalas sudah aman, sang ulama bersama pengiringnya kembali ke tampat semula (Bayan Pelabuhan Carik). Bersama pengiringnya mereka kemudian berniat ke Selaparang
Namun, perjalanan ke Selaparang dari Bayan terhenti karena sang ulama meninggal dunia di Suren Geneng. Ketika jenazahnya hendak dikembalikan ke Bayan, jenazah itu terasa berat dan tak bisa diangkat. Akhirnya perjalanan dilanjutkan ke Selaparang dan istiirahat di pertigaan Sebau.
Ketika hendak dimakamkan di Sebau jenazah kembali tidak bisa diangkat. Jenazah bisa diangkat ketika perjalanan hendak dilanjutkan ke arah selatan/Pesugulan (Jurang Koak) terus ke selatan dan sampai di sebuah tempat (tak dikenal namanya) serta istirahat di sana. Saat hendak melanjutkan perjalanan ke tujuan semula (Selaparang), lagi-lagi jenazah sang ulama tak bisa diangkat. Karena itu, jenazahnya dimakamkan di tempat itu juga. Konon, saat dimasukkan ke liang lahat jenazah sang ulama menghilang sehingga makam ini dikenal sebagai petilasan seorang waliyullah.
Karena dulu tempat tersebut merupakan hutan yang banyak pohon pisang kepok, maka diberi nama Wanasaba, diambil dari kata Seba (berseba-seba : Sasak dialeg geto-gete, sebagaimana bahasa orang Wanasaba saat ini) yang berarti bermusyawarah. Atau dalam bahasa Sansekerta, Wanasaba berarti hutan yang lebat.
Bernama Malta Bin Asegaf.
Jupel Situs Cagar Budaya Makam Beru, Haji Lalu Sukradis, S.Pd., mengemukakan Makam Beru banyak dikunjungi warga berbagai kalangan, mulai dari masyarakat umum hingga tokoh agama. Salah satunya TGH. Najamudin dari Praya Loteng.
“Beilau bersama rombongan (jamaah, murid dan para ustadz) ke sini pada tahun 1975. Beliau sudah meninggal dunia,” katanya seraya menambahkan bhwa TGH. Najamudin menyampaikan bahwa jenazah di Makam Beru adalah seorang ulama yang sudah mencapai derajat waliyullah yang berasal dari Tanah Jawa.
“Sebagaimana disampaikan oleh TGH. Najamudin pada tahun 1975 bahwa nama Wali di Situs Cagar Budaya Makam Beru Desa Wanasaba Lotim ini adalah Malta Bin Asegaf, ” ungkapnya.(Kus).