Sumbawa, Literasi – Istana Dalam Loka di Kabupaten Sumbawa merupakan satu dari sembilan istana peninggalan Kesultanan Sumbawa yang memiliki wilayah dari Empang di bagian timur hingga Jereweh di bagian barat. Kesultanan ini memerintah selama 1648 – 1959. Ketika berubah menjado obyek wisata, pada waktu hari libur, jumlah wisatawan lebih banyak jika dibandingkan hari biasa.
Asisten II Setda Kabupaten Sumbawa, Lalu Suharmaji, mengatakan Istana Dalam Loka yang berusia 134 tahun (sempat direnovasi 1985), namanya berasal dari bahasa Sansekerta, yang artinya lokasi tempat tinggal para sultan dan bangsawan. Istana ini berfungsi sebagai pusat kekuasaan dan pemerintahan.
“Istana Dalam Loka merupakan salah satu dari tiga istana yang tersisa dari Kesultanan Sumbawa. Dua lainnya adalah Istana Bala Kuning dan Istana Bala Putih – yang terakhir ini dijadikan Pendopo Pemerintah Kabupaten Sumbawa. Sekarang dalam tahap restorasi setelah mengalami kebakaran 11 Juli 2017,” ujar Suharmaji menjawab wartawan, Senin (6/9).
Dalam sejarahnya, Kesultanan Sumbawa memiliki sembilan istana: Istana Bala Karang Minyak, Istana Bala Balong, Istana Bala Gunung Setia, Istana Bala Sawo, Istana Dalam Loka, Istana Bala Batu Ode, Istana Bala Putih, Istana Bala Kelungkung, dan terakhir Istana Bala Kuning.
Istana Bala Kuning yang ditempati oleh pewaris tahta ke 18, Muhammad Abdurrahman Daeng Raja Dewa yang dipanggil Daeng Ewan atau Haji DMA Kaharuddin S. Sewaktu dinobatkan diberi nama Dewa Masmawa Sultan Muhammad Kaharuddin IV.
Istana Dalam Loka ini dibangun pada 1885, saat pemerintahan Paduka Yang Mulia Dewa Masmawa Sultan Muhammad Jalaludinsyah III.
“Ini sebagai pusat kekuasaan dan pemerintahan selain rumah tinggal dan tempat peristirahatan,” kata Suharmaji.
Lokasi Istana Dalam Loka berada di tiga kelurahan di dalam kota Sumbawa Besar. Statusnya berada di lingkungan Kelurahan Seketeng tetapi di samping barat dan utara letaknya di Kelurahan Brang Bara dan Pekat sedangkan di sebelah timur adalah Kelurahan Pekat.
Suharmaji menuturkan bangunan itu tampak dari atas seperti tangan orang yang sedang tahiyat akhir ketika salat. Sedangkan untuk tiang, jumlahnya 99 batang yang menyimbolkan Asmaul Husna.
Istana ini dibangun berdasarkan prakarsa rakyat Kesultanan Sumbawa. Pasalnya pada 1883, Istana Bala Sawo ukurannya terlalu kecil dan sederhana. Rakyat yang mencintainya rajanya itu, pada tahun 1885 berdatangan membangun istana.
Mereka datang dari ujung Empang (timur Sumbawa) – sampai ujung Jereweh (ujung barat selatan) wilayah kekuasaan Kesultanan Sumbawa. Mereka dikoordinir Haji Hasyim dari Taliwang dengan arsitektur spiritualnya Haji Achmad dari Plampang.
“Mereka membangun istana itu menggunakan bahan bangunan kayu, selama sembilan bulan 10 hari,” ucap Suharmaji.
Semula Istana Dalam Loka ini merupakan kompleks besar, yang dibangun di atas lahan seluas dua hektar. Di dalamnya terdapat tempat para abdi dan putra mahkota. Setelah renovasi, yang tersisa bangunan induk Bala Rea yang sekarang disebut Istana Dalam Loka. Sekarang ini luas area istana sekitar 5.600 meter persegi. Selebihnya telah diberikan oleh Sultan untuk keperluan rumah keluarga dan para pembantunya.
Istana Dalam Loka menjadi pusat kekuasaan, di dalamnya terdapat beberapa bangunan lain yang menjadi satu kesatuan kompleks. Ada Bala Rea yang sekarang dikenal sebagai Istana Dalam Loka, Bala Bulo (tempat pertemuan putra mahkota dan bangsawan muda lainnya), ada Lawang Rare (gerbang agung yang setiap tamu berkunjung menunduk sebagai penghormatan terhadap raja) antara masjid dan istana.
Di sana juga ada Pakatik Kemutar (kandang kuda), Alang Aji (lumbung menyimpan padi dari Uma Pamangan Sultan atau sawah bengkok), juga ada Alang Kemutar.(lumbung yang diisi padi dari sawah kesultanan untuk ketahanan pangan keperluan hajatan adat), kemudian ada Jambang Sasir yang erat kaitannya tempat mencuci pakaian, piring, maupun kelengkapan rumah tangga kesultanan.
Seterusnya ada Bale Pamaning (rumah tempat mandi), ada Sarumung Belo (tempat buang hajat). Ada Bala Datu Raja Muda (putra mahkota) dan Bale Bawa – jumlahnya mencapai 17 ruang tempat para abdi beristirahat.
Di dalam kompleks istana, terdapat tiga lapangan. Lapangan pertama dinamai dengan Lendang Lunyuk, berupa halaman yang menyambung dengan halaman Masjid Jami atau kini disebut Masjid Agung Nurul Huda.
Kemudian ada lapangan khusus, yang digunakan abdi istana untuk berkemah. Perkemahan ini digelar oleh abdi yang datang dari luar kota apabila istana menggelar upacara adat kebesaran kesultanan. Mereka datang dari Desa Sela, Desa Lito, dan Desa Tarewan. Biasanya mereka berbulan-bulan tinggal di sana.
Suharmaji menjelaskan, bahwa Istana Dalam Loka ini adalah bangunan beratap kembar berarsitektur katamaran. Bangunannya berlantai dua dan di setiap lantai menggunakan dua tiang, namun tidak menyambung dari lantai satu tapi menumpang di atas kolom. ”Itulah kekhasan dari arsitektur Istana Dalam Loka,” tegas dia.
Kemudian di bagian depan teras memanjang menyambung dengan tangga panjang, yang disebut Tete Gasa yaitu titian yang memiliki anak tangga ganjil. Berbentuk undakan disebut Paruwak atau tanjakan.
Artinya secara filosofi setiap orang yang naik harus membungkuk badan sebagai tanda hormat. Tidak berbentuk tangga biasa tetapi pendakian. Tingginya di bagian depan sekitar 0,5 meter dan di ujung atas kurang lebih empat meter sehingga agak landai.
Kamarnya ada di bawah sebelah timur memanjang lima kamar. Dua kamar untuk putra raja yang sudah menikah, yang bukan putra mahkota. Kamar nomor tiga untuk istri raja yang bukan permaisuri. Kamar nomor empat untuk para Bone atau inang pengasuh yang mengurus keperluan Sultan dan permaisuri. Sehingga di kamar itu ditempatkan perbekalan seperti beras dan lainnya.
Di ujung timur menuju utara kamar kelima, terdapat Sanapir Kamutar atau dapur. Kemudian di sebelah barat memanjang yang pertama adalah Repan Salat. Ruangan ini merupakan kamar atau ruangan khusus ibadah salat bagi penghuni istana yang tidak ke masjid.
Kemudian ada kamar besar Repan Kaca Puri merupakan ruang kamar peraduan raja. Kamar tidur raja dan permaisuri besar ruangannya, karena di dalam kamar ada meja kerja, meja saji untuk tempat makan, dan tempat khusus permaisuri menerima tamu istri-istri pejabat kesultanan/istana. Bagian ujung itu adalah kamar putri-putri yang belum menikah.
Di bawah juga ada ruangan besar yang paling depan adalah Lunyuk Agung – ruangan untuk upacara istana khusus untuk tamu laki-laki. Di antara kamar-kamar itu terdapat ruang besar memanjang, Lunyuk Emas, tempat permaisuri dan seluruh tamu perempuan bila ada hajatan di istana. Pada malam hari abdi wanita sebagaian tidur di situ. Di sudut Lunyuk Emas ke arah barat dekat tangga ada gudang persenjataan dan pusaka.
Pada lantai dua istana, terdapat ruangan memanjang seperti panggung setinggi 125 sentimenter yang disebut Ambin. Di bawah kolong Ambin ditempatkan perbekalan untuk menyimpan padi, jagung dan kacang hijau untuk makan sultan. Makanan itu berasal dari persembahan rakyat. Kemudian di atas ambin terdapat tempat para putri bercengkerama dan menenun. Pada perayaan atau keramaian, mereka menyaksikan keramaian dari jendela lantai dua — beralas lantai Ambin.
Suharmaji menuturkan, keunikan Istana Dalam Loka adalah arsitekturnya yang menyimbolkan syariat Islam. Ia menyebut konsep arsitektur istana terdapat Bangkung yaitu hiasan ujung atap dari mahluk perlambang Heraldis.
Di mana, ornamen berbentuk kepala manusia berbadan kuda, tapi distilisasi dengan ornamen tumbuh-tumbuhan sehingga tidak tampak apakah manusia atau hewan — mengikuti ajaran Islam untuk tidak membuat patung hewan atau manusia. ”Inilah perlambangan sebagai hablun minaallah. hubungan antar manusia dengan Allah,” tuturnya.
Sedangkan pada sisi atap bagian luar terdapat ukiran buah nanas, ujungnya menghadap ke bawah sebagai simbol hablun minannas — hubungan antar manusia. Atap istana yang kembar merupakan simbol dari Syahadain dan syahadat Rasul. Secara konsep dilihat dari pinggir timur, bentuknya seperti lafas Allah. Dari ruang dapur yang disebut Sanapir atau Kandawari itu bangunan induk sampai ke ujung tangga bentuknya lafas Allah.
Istana Dalam Loka memiliki pintu besar berjumlah 17 yang menyimbolkan jumlah rakaat salat sehari semalam. Sementara jendela berjumlah 44 adalah angka keramat kehidupan Tau Samawa (etnis Sumbawa).
Istana menghadap arah ke selatan ini merupakan konsep tata ruang Sumbawa. Maksudnya agar, aktivitas istana yang terus menerus tidak mengganggu kegiatan ibadah di masjid. Makanya ada ruang Repan Salat, mereka yang tidak sempat ke masjid bisa salat di ruangan tersebut, “Ini sebagai pengejawantahan adat basandi syara, syara basandi kitabullah,” tandas Sudarmaji. RUL.