Puisi Dienullah Rayes
aku naik bus merah jambu dari Mojokerto,
mendapat tempat duduk di tengah,
di samping anak muda pakai baju merah,
dia diam lidahnya lempeng baja sepi kata.kata,
meski badan kami nyaris bersentuhan,
namun nyawa kami berjauhan,
bagai sumur dan awan.
2.
pengamen anak-anak belasan,
berdiri sembari menembang lagu,
suara ketipungnya tawarkan lagu murung,
kami belum sarapan,
mohon recehan,adik belum disuapi sari makanan,
kami anti maling tak ingin ditikam malang.
3.
para pengamen turun-naik atas bus,
cari uang recehan antara duaribuan dan limaribuan,
bukan milyaran seperti para koruptor,
yang hilang mahkota harga dirinya.
4.
tiba-tiba di depan pintu naik,.
berdiri sambil.bernyanyi,
pengamen tua yang buta,
bertopang pada tongkatnya yang berukir,
Ia menembang lagu padang pasir,
yang menyisir sukma lara,
penumpang bus memberi lebih duapuluhan,
pundinya padat berisi uang kasihan,
mata tongkatnya lebih tajam,
penglihatannya dari mata penumpang gagahan.
dia begitu akrab dengan si super Maha Rabb.
5.
temanku tertidur dibuai mimpi,
melihat orang tertidur mata tongkat itu jalan terus,
mungkin dia tidur dalam kepura-puraan,
yang sinis?
6.
siang-malam dia berjalan bermata tongkat sakti,
jalan lingkungan dihayati dengan teliti,
sampai di terminal Surabaya,bungorasi,
aku kenang dalam.genangan ingatan,
si Paimin namanya si pengamen bermata tongkat sakti.
Sumbawa-Taliwang-NTB,
03.08.2021.