SELONG. Literasi -Al-Qur’an tua yang dijuluki TAL KOMPONG bertuliskan tangan pada masa abad 17 merupakan Dowe Desa Apitaik. Hasil penelitian Arkeolog yang pernah menijau, TAL KOMPONG bersampul dari kulit unta, sementara lembaran ke 30 juz dari kertas yang berasal dari London (Inggris).
TAL KOMPONG merupakan milik Penghulu Gading dari Desa Apitaik Kecamatan Pringgabaya Lombok Timur (Lotim) Nusa Tenggara Barat (NTB). Penghulu Gading merupakan keturunan ke 29 dari Sunan Perapen (Penyebar Islam di Lombok) keturunan Wali Songo yang di Jawa Tengah. Dikenal sebagai salah seorang dari Pemban Selaparang (Pejabat Kerajaan Selaparang) dengan jabatan sebagai Penghulu (menangani masalah Agama) di lingkungan Kerajaan Selaparang. Penghulu Gading menerima Al-Qur’an tersebut dari gurunya, setelah usai menuntut ilmu di Jawa Tengah, pada seorang ulama’ dari kalangan Wali Songo.
Al-Qur’an tersebut pernah hilang pada masa pemerintahan Hindia Belanda dan ditemukan oleh seorang Nelayan saat menangkap ikan di selat Alas (antara Pulau Lombok dan Sumbawa). Setelah sang nelayan melapor ke Kesultanan Sumbawa, sang Sultan menolak karena bukan miliknya dan minta supaya dibawa ke Lombok. Oleh sang nelayan, Al-Qur’an tersebut digantung pada sebuah pohon Lontar (Tal : Sasak) di pelabuhan Kayangan.
Masyarakat setempat kemudian melapor kepada Datuk Sri Wangsa (pendiri/pengurus Masjid Apitaik) yang juga garis keturunan Penghulu Gading Apitaik. Setelah Al-Qur’an tersebut diambil, pohon Tal itupun tumbang/patah (kompong : Sasak). Al-Qur’an itu kemudian disimpan kembali di Apitaik dan dijuluki dengan TAL KOMPONG. Sampai saat ini TAL KOMPONG masih dijaga dan dirawat oleh salah seorang ahli waris Penghulu Gading yaitu Haji Muh.Kadry Sy, S.Sos, tepatnya di Bale Dalem Dusun Gubuk Pande Desa Apitaik.
Haji Kadry (panggilan akrabnya) menyampaikan, pada masa dahulu, di wilayah Kerajaan Selaparang, ketika juga pada masa Bali maupun Belanda berkuasa di Lombok, TAL KOMPONG dipakai sebagai media pengambilan sumpah jabatan hingga yang ada kaitannya dengan sumpah bagi yang berperkara. Menurutnya, TAL KOMPONG sudah dikenal hingga pusat dan masuk sebagai bagian dari Cagar Budaya yang harus dijaga dan dirawat.
“Pada dekade tahun 1970 an, Depdikbud Kecamatan Pringgabaya, lewat PS (Penilik Sekolah) Haji Mursalin (almarhum) ketika itu, mendampingi pejabat Depdikbud Provinsi NTB dan Kabupaten Lotim meninjau TAL KOMPONG ini,” tutur Haji Kadry, Rabu 14/07/2021, usai shalat Subuh di Masjid Jamiq Baiturrahman Desa Apitaik.
Mantan Kasi Urusan Haji dan Umroh Depag (2003-2009) Lotim itu lebih jauh mengemukakan TAL KOMPONG kemudian ditinjau oleh pejabat dari Menteri Depdikbud.
“Pada masa Haji Syabli Effendi menjadi Kades Apitaik (1997-2005) 4 orang Arkeolog dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meninjau TAL KOMPONG ini, ” kata mantan Kepala KUA Kecamatan Pringgabaya (2009-2012) ini, sembari menambahkan bahwa, pihaknya tetap menjaga dan merawat TAL KOMPONG. “Ini peninggalan dari leluhur orang Desa Apitaik. Sebagai ummat muslim, kita wajib memelihara TAL KOMPONG sebagai Kitab suci Al-Qur’an. Satu hal yang amat penting adalah senantiasa menjalankan perintah dan meninggalkan larangan Allah Swt,” imbuh Ketua Pengurus/Ta’mir dan Imam utama Masjid Jamiq Baiturrahman Apitaik ini.
Sementara itu Kadis Pariwisata Lotim, DR.H.M.Mugni, M.Pd., sangatlah mengapresiasi adanya upaya memelihara benda bersejarah bernuansa Kearifan Lokal baik adat istiadat maupun agama (bernilai adat Budaya maupun Religi). Kata dia, bahkan wajib memeliharanya (menjaga dan merawat) sebagai khazanah budaya yang mewarnai Pesona Gumi Selaparang (sebutan untuk Lotim).
” Unsur strategis dalam menumbuh kembangkan Budaya Bangsa (kearifan lokal) adalah : Pemerintah, Institusi, Masyarakat, Pengusaha/Investor, dan Media (cetak, elektronik, online),” katanya, dalam kesempatan pemberian Anugerah kepada Insan Jurnalis Kepariwisataan di Lotim (Kus)