Rabu , Januari 22 2025

Perairan NTB Surganya Lobster Indonesia

FOTO. Inilah lobster yang dibudidayakan nelayan di perairan Selatan Lombok Timur. (FOTO. RUL/DS).

Sebanyak empat dari tujuh jenis lobster unggulan di Indonesia yang memiliki harga jual tinggi di pasar domestik maupun mancanegara saat ini, ada di wilayah perairan NTB. Jenis lobster itu, yakni Lobster pasir (Panulirus homarus), Lobster Mutiara (Panulirus ornatus), Lobster batu atau yang lazim dikenal lobster karang (Panulirus penicillatus) dan Lobster Bambu (Panulirus versicolor). Tak heran pembudidayaan lobster sungguh menjanjikan. Apalagi,  Sekali panen, ratusan juta hingga Rp 1 miliar bisa diraup oleh para nelayan di wilayah Pulau Lombok dan Sumbawa.

Hanya saja, badai keuntungan bagi para nelayan bakal tergoncang kembali menyusul ditangkapnya Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia dalam Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024, Edhy Prabowo oleh tim KPK beberapa hari lalu.

FAHRUL MUSTOFA – MATARAM

Wajar jika perairan Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa memiliki luas wilayah total sebesar 20.153,15 km persegi disebut sebagai surganya lobster. Oleh karena itu, salah satu kekayaan laut yang dimiliki oleh negara NTB adalah area terumbu karang yang sangat luas dan merupakan habitat utama lobster. Lobster dianggap sebagai salah satu komoditas laut NTB yang memiliki peranan penting baik dari segi ekologi maupun ekonomi.

Ketua Umum Asosiasi Nelayan Lobster Indonesia (ANLI) Rusdianto Samawa mengatakan, bahwa spesies lobster dari perairan kedua pulau di NTB itu (Lombok dan Sumbawa) adalah lobster mutiara, pasir,  karang, dan bambu.

          “Lobster karang, bambu, pasir dan mutiara bernilai tinggi dan berorientasi ekspor. Potensi ini tentu, dapat diakses secara terbuka untuk mendatangkan keuntungan ekonomi,” kata Rusdianto dalam siaran tertulisnya, Senin (30/11).

Ia menyatakan, zonasi lokasi spesifik untuk budidaya lobster di Pulau Sumbawa dan Lombok terdapat di Teluk Jukung-Telong Elong, Teluk Ekas, Teluk, Labuhan Bontong, Labangka, Labuhan Pidang, Penobo, Sili, Maci, Mata dan Sape. Dimana, sesuai data Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) NTB tahun 2013 dan 2014, maka potensi benih lobster di NTB mencapai 10 juta ekor induk.

Untuk itu, Rusdianto meminta pada jajaran Pemprov melalui Diskanlut setempat agar mulai melakukan intervensi paket kebijakan untuk memaksimalkan partisipasi masyarakat melalui pemanfaatan, penangkap benih bening, dan pembudidayaan benih lobster.

“Starting point-nya adalah pemantapan strategi dan kerjasama investasi lobster dan benih lobster. Masyarakat lebih memilih menangkap benih lobster untuk diekspor karena dihargai tinggi dibandingkan untuk input budidaya,” jelas Rusdianto.

Data Balai Karantina Ikan Pengendalian Mutu (BKIPM) dan Keamanan Hasil Perikanan Mataram, tercatat total nilai pengiriman lobster untuk ukuran konsumsi dari NTB ke daerah lain mencapai Rp7,4 miliar selama periode Januari-Juni 2019.

          Sementara itu, Pakar crustacea Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ( LIPI), Rianta Pratiwi dalam keterangan resmi laman LIPI mengatakan, bahwa lobster tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia. Penyebaran itu pun hampir merata karena lobster hidup di perairan dangkal hingga kedalaman 100-200 meter di bawah permukaan laut dengan kisaran suhu 20-30 derajat celcius. “Mereka biasanya menyenangi daerah terumbuh karang, bersembunyi di dalam lubang atau dibalik batu-batu karang yang airnya dangkal di daerah tropis ataupun semi tropis,” jelas Rianta.

Menurut Riana, saat ini Indonesia mempunyai tujuh jenis lobster. Yakni,  Lobster pasir (Panulirus homarus), Lobster batik (Panulirus longipes), Lobster batu (Panulirus penicillatus), Lobster Pakistan (Panulirus polyphagus), Lobster Mutiara (Panulirus ornatus), Lobster Bambu (Panulirus versicolor) dan Lobster Batik (Panulirus femoristriga)

“Lobster mutiara dan lobster pasir menjadi lobster yang paling potensial untuk dikembangkan melalui sistem budidaya perikanan yang ada di Indonesia,” ungkapnya.

“Meskipun memiliki morfologi yang sama, tetapi habitatnya berbeda-beda tergantung jenisnya,” sambung Rianta.

*20 Miliar Ekor

Terkait potensi benih lobster alam di laut Indonesia? Rianta mengatakan, potensi benih lobster alam di laut Indonesia sangat besar dan diperkirakan mencapai 20 miliar ekor per tahun. Namun, bukan berarti potensi ini akan aman di lautan, karena banyak hal yang sangat mungkin memengaruhi keberadaan dan ekosistem lobster alam.

“Faktor alam yang mencakup dinamika oseanografi dan klimatologi sangat memengaruhi keberadaan dan stok benih lobster alam di laut Indonesia,” ujarnya.

Selain itu, kualitas lingkungan perairan laut dan aktivitas penangkapan juga ikut andil memberikan pengaruh terhadap keberadaan stok benih lobster di alam. “Namun, hingga saat ini, hampir belum ada informasi yang memadai terkait faktor mana yang paling menentukan keberadaan dan stok benih lobster di alam,” ungkapnya.

Lobster atau yang lebih dikenal dengan ‘udang karang atau udang barong’ memiliki nilai ekonomi dan konsumsi yang tinggi sebab dagingnya yang gurih, halus, lezat dan kaya akan protein. 

Rianta menegaskan, lobster bukan hanya komersial di Indonesia namun juga hampir di seluruh dunia.  “Lobster merupakan jenis yang komersial di sepanjang pantai utara dan selatan Amerika, Afrika Mediteranean, India, Australia, Selandia Baru, dan perairan Indo-Pasifik, termasuk perairan Indonesia,” ujarnya.

*Raup 700 Juta-Rp 1 Miliar

          Terpisah, salah satu nelayan asal Lombok Timur, Sapardi mengatakan, Teluk Jukung merupakan salah satu surganya lobster di Lotim. Sapardi memiliki dua buah keramba di sana. Yang didatangi ini adalah keramba kedua. Dimana, satu keramba memiliki 25 lubang. Tahun ini, 40 lubang diisi lobster pasir. Sebanyak 10 lubang lobster mutiara. Ukuran per lubang 3×3 meter. “Memang luas. Tapi di laut ukuran seperti ini tetap saja kecil,” katanya.

        Harga lobster pasir per kilo saat itu berkisar antara Rp 125 sampai Rp 150 ribu. Panen. pertamanya, ia mendapat Rp 2,5 juta. Dikurangi modal Rp 750 ribu, bersih ia kantongi Rp 1,75 juta. Uang segitu tentu sangat besar bagi remaja sepertinya.

“Keuntungan tidak saya pakai belanja. Tapi untuk mengembangkan keramba,” katanya.

          Sejak saat itu, per dua tahun ia menambah dua lubang. Sampai pada 2009, ia sudah memiliki 6 lubang. Hasilnya tentu semakin besar. “Ditambah lagi peraturan menteri KKP belum keluar. Kita masih bisa jual kapanpun,” jelasnya.

          Sampai di sana, Sapardi memperlihatkan raut wajah haru mengenang masa sulitnya. Saat ayahnya meninggal dunia, ia harus putus sekolah. Dia mengaku sempat merasa terkucilkan karena kondisi ekonominya saat itu. Melihat ia rajin bekerja pun, para remaja di kampungnya di Desa Pare Mas, Kecamatan Jerowaru cenderung menghindar. “Jarang ada yang mau berteman sama saya,” kenangnya.

          Lobsterlah yang membuat kehidupan Sapardi berubah. Perubahan itu drastis. Ia seperti dibawa terbang ke langit oleh lobster-lobster yang ia budidaya di keramba miliknya. Meski di tahun 2009, modalnya sempat melayang untuk membiayai pernikahannya

          Berbicara laba, harga lobster tergantung dolar. Dengan 25 lubang keramba yang ia miliki, ia bisa meraup sekitar Rp 350 juta sekali panen. Dengan rincian, satu lubang lobster pasir rata-rata menghasilkan Rp 6 juta. Lobster mutiara Rp 20 juta. Perlubang kita lepas 100 ekor. Dipanen saat beratnya 200 gram,” terangnya.

          Tahun lalu, dengan keuntungan yang ia miliki, ia membuat lagi satu keramba dengan 25 lubang. Jadi ada dua keramba dengan 50 lubang. Jika 25 lubang menghasilkan Rp 350 juta, maka sekali panen ia bisa meraup keuntungan Rp 700 juta. (*).  

Check Also

Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTB menyebutkan nilai ekspor Provinsi Nusa Tenggara Barat pada bulan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *