
SUMBAWA,Literasi-Jika di Bali mengenal istilah Nusa untuk menyebut pulau-pulau kecil, maka di Lombok dan Sumbawa pulau-pulau mini dikenal dengan sebutan Gili. Sebagai contoh di Bali dikenal Nusa Lembongan, Nusa Penida dan Nusa Ceningan, sedangkan Lombok ada Gili Trawangan, Gili Meno dan Gili Air. Kawasan timur pulau Lombok, yaitu Sumbawa juga punya banyak gili cantik yang tidak berpenghuni. Salah satunya, Gili Dewa di Kecamatan Terano, Kabupaten Sumbawa.
Selama
ini, masyarakat hanya mengenal Pulau Moyo jika menyebut Sumbawa. Namun jangan
salah, jika ada surga mungil lainnya di belahan Timur paling ujung Kabupaten
Sumbawa, yakni Gili Dewa. Memang jika menyebut pulau kecil yang terletak
sekitar 110 kilometer ke arah timur Kota Sumbawa besar atau perbatasan Kabupaten
Sumbawa dengan Kabupaten Dompu di Pulau Sumbawa jelas terasa asing.
Namun jangan salah jika kini pulau kecil di Pantai Jamplung, Gili Dewa menjadi salah satu destinasi wisata
lokal yang telah dikenal masyarakat dua kecamatan di Sumbawa, yakni Empang dan
Terano. Apalagi, keunggulan Gili Dewa cukup beragam, salah satunya terdapat
banyaknya goa di seputaran pantai.
“Masyarakat setempat menyebutnya Goa Jepang, karena konon waktu dahulu saat
masa penjajahan digunakan oleh tentara Jepang sebagai lokasi persembunyian,”
ungkap tokoh masyarakat Sumbawa, Johan Rosihan.
Gili
Dewa cukup populer pada musim liburan seperti Idul Fitri. “Dulu waktu saya
masih kecil sampai akhir tahun 90-an, kawasan ini masih menjadi lokasi andalan
masyarakat di duakecamatan untuk menghabiskan waktu berliburan bersama
keluarga,” ujar Johan.
Politisi PKS itu menyebutkan, Gili Dewa memiliki banyak cerita rakyat hingga
mitos yang dipercayai warga sekitar. Diantaranya di lokasi itu menjadi tempat
favorit persemedian baik saat jayanya kerajaan Hindu di Sumbawa maupun dalam
masa asimilasi masuknya Islam di tanah Samawa.
“Di Gili Dewa masih terdapat beberapa artefak masa kuno, berupa batu-batu dengan berbagai bentuk yang menjadi daya tarik tersendiri. Bahkan, oleh warga sekitar lokasi ini masih dirasa sakral, sehingga setiap orang yang berkunjung harus mengikuti aturan dan harus dipandu para guide lokal,” tandas Johan Rosihan.fahrul