MATARAM,Literasi-Perda Wisata Halal kering nilai-nilai lokal. Terjemahan halal seharusnya lebih luas karena Islam itu membuka diri dengan dunia lain dan tidak menutup diri dengan ruang lain. Terlebih pasca gempa, NTB bak menghadapi kejadian luar biasa (KLB) sehingga harus ada langkah solutif.
Anggota DPRD NTB, Akhdiansyah, SH.I, mengatakan hal itu pada mini discussion bertemakan “Menatap Masa Depan Industri Pariwisata NTB Pasca Gempa: Realitas dan Harapan” di Sekolah Tinggi Pariwisata (STP Mataram, Senin (5/8).
Pada acara hasil kerjasama UI dengan STP Mataram yang juga menghadirkan narasumber Kabid Promosi Pariwisata, Kabid UPT Litbang Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Lalu Syakhruzali), Rektor UNU (Baiq Mulianah, S.Ag., M.Pd.I), dan Dosen STP (Dr. Syech Idrus., M.Si), Akhdiansyah memaparkan bahwa NTB menjadi bidikan orang barat. Selain pertanian, pariwisata menjadi keunggulan.
“Sehingga pemerintah perlu mengkonstrasikan itu. Saya belum baca berapa anggaran tapi Dinas Pariwisata adalah pasukan utama yang mengkoordinirnya,” kata dia seraya menambahkan kedepan penting pariwisata NTB didorong kembali agar ada keberpihakan dengan daya dorong anggaran.
Ia mengemukakan kini ada ratusan miliar pembangunan infrastruktur diarahkan ke Pulau Sumbawa guna mendukung Samota. Namun, pariwisata bukan soal jumlah. “Sering pemerintah beranggapan sukses setelah mampu menghabiskan anggaran, bukan output,” katanya. Pasca gempa yang telah menelan 70 ribu rumah serta 500 korban jiwa, kini kebijakan umum perlu diperluas. “Perda wisata halal perlu dibuka kembali dengan spirit sosial budaya,” katanya.
Dosen STP Mataram, Syech Idrus, mengemukakan disektor pariwisata banyak hal yang bisa dikemas. Sayangnya, sering kali apa yang dilakukan tak tuntas sampai tahap evaluasi. Ia mengibaratkan seperti ayam yang dipotong. Sebelum benar-benar mati, ayam itu sudah dimasukkan kedalam air panas kemudian bulu- bulunya dicabut.
Beberapa potensi yang kecil dan sudah ada seharusnya dihidupkan. Sebutlah potensi tuak manis yang dijual di pinggir jalan Pusuk. Selama ini tuak manis dijual dengan menggunakan kemasan botol bekas. Ia menyarankan, ada perhatian yang searah dengan pengembangan dunia kepariwisataan. Karena itu, tuak manis selayaknya menggunakan kemasan bambu agar punya nilai lebih. “Bukan dari botol bekas. Ini bisa menambah substansi wisata halal,” katanya.
Banyak hal yang perlu dibenahi dari sector kepariwisataan NTB. Salah seorang peserta mengeluhkan kondisi Gunung Rinjani dengan sampahnya yang menumpuk. Pasalnya, selama ini pelaporan sampah plastik nyaris tidak ada yang mengatur. Padahal setiap pendaki cenderung membawa sampah ke sana. Ironisnya, hal itu tidak dipertanggungjawabkan. “Ngeri lihat angka sampahnya,” katanya sembari mengemukakan perlunya pendaki membawa kembali sampah yang dibawa.
Menjawab hal itu Kabid UPT Litbang Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan NTB, Lalu Syakhruzali, mengatakan akan memonitor sampah. Langkah ini akan dikolaborasikan dengan e-tiket agar jumlah sampah bisa diketahui. “Akan komunikasikan dengan TNGR. Jika bisa seperti itu akan cepat kita menuju lingkungan bebas sampah plastic,” katanya.
Bagi Rektor UNU NTB, Baiq Mulianah, sampah sejatinya adalah uang sehingga perlu ada edukasi. Pihaknya sempat menyindir ketika para mahasiswa UNU mengumpulkan sampah sedotan yang panjangnya puluhan kilometer. “Sedotan plastik di Udayana pernah disambungkan namun tidak ada yang tersinggung,” ujarnya. ian