MATARAM, DS – Fenomena ‘topi awan’ putih tebal yang melingkari puncak Gunung Rinjani di Kabupaten Lombok Timur tak ada kaitannya dengan pertanda gempa yang terjadi akhir-akhir ini di NTB.
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Mataram, Agus Riyanto, mengatakan fenomena ‘topi awan’ putih tebal di puncak Gunung Rinjani merupakan fenomena alam yang terbentuk dari awan Lenticular.
Oleh karena itu, ia mengimbau masyarakat agar tidak mengaitkan fenomena alam Lenticular dengan akan terjadinya gempa. “Pandangan yang mengaitkan kayak gitu adalah sebuah kesalahpahaman. Sekali lagi, tidak ada kaitannya. Yang ada, itu hanya rumor, awan caping itu berbahaya bagi penerbangan, bukan tanda-tanda terjadinya gempa,” ujar Agus menjawab wartawan dalam siaran tertulisnya, Kamis (18/7).
Ia menyatakan, bentuk awan seperti topi/caping/piring raksasa dan awan yang melingkari gunung, disebut Awan Lenticular. Agus mengaku, fenomena itu adalah awan yang biasanya berbentuk piring raksasa. Yakni, biasa dapat ditemukan di dekat bukit atau gunung-gunung.
Sebab, awan semacam ini terbentuk dari hasil pergerakan angin yang menabrak dinding penghalang besar, seperti pegunungan dan perbukitan, sehingga menimbulkan sebuah pusaran.
Ia menjelaskan, jika awan Lenticular akan biasa kelihatan begitu padat, namun hakikatnya tidak demikian. Awan ini terlihat padat karena aliran udara lembab terus menerus mengaliri sang awan dan akan keluar lewat permukaan paling bawah.
“Inilah yang membuat awan Lenticular akan bertahan hingga berjam-jam, bahkan berhari-hari seperti yang terjadi di puncak Gunung Rinjani pada Rabu (17/7) lalu itu,” jelas Agus.
Ia mengaku, adanya awan Lenticular itu, bagi dunia penerbangan akan sangat mematikan. Sebab, biasanya sang awan bisa menyebabkan turbulensi bagi pesawat yang nekad memasuki awan atau hanya terbang di dekat awan Lenticular.
“Maka dari itu, kami langsung mengeluarkan imbauan pada penerbangan agar tidak melewati kawasan pegunungan yang terjadi adanya awan Lenticular itu,” tandas Agus Riyanto.
Sebelumnya, Rosyidin warga Sembalun saat dihubungi dari Mataram, mengatakan fenomena Gunung Rinjani “bertopi” ini mulai muncul sekitar pukul 07.00 Wita atau saat Matahari terbit dan berakhir pada pukul 09.30 Wita. “Munculnya itu pas Matahari terbit,” ujarnya, kemarin.
Rosyidin menjelaskan, fenomena puncak Gunung Rinjani “bertopi” sebetulnya sudah sering kali terjadi. Hanya saja, awan yang melingkar di atas puncak Rinjani itu tidak sebundar dan sebesar seperti yang terjadi pada saat ini. “Masyarakat sudah biasa melihat ada lingkaran awan di atas puncak Rinjani. Tapi memang yang sekarang tidak sebundar dan sebesar yang sekarang,” terang Rosyidin.
Ia mengatakan, meski bukan kejadian pertama kali, banyak warga yang kemudian mengaitkan fenomena awan bertopi di atas puncak Rinjani dengan kejadian gempa yang terjadi akhir-akhir ini di daerah itu, termasuk mengaitkan dengan fenomena Gerhana Bulan yang terlihat pada Rabu dini hari sekitar pukul 04.00 Wita di wilayah itu.
Namun bagi warga sekitar Sembalun, kata Rosidin, fenomena puncak Rinjani bertopi pertanda ada orang yang meninggal. Dalam artian, orang yang meninggal bukan orang sembarangan atau masyarakat kecil melainkan pejabat atau tokoh-tokoh penting.
“Ada yang bilang ini karena gempa, Gerhana Bulan semalam. Tapi buat warga Sembalun ini pertanda orang meninggal. Tapi kalau dikaitkan gempa kami tidak percaya, karena ini kejadian lumrah setiap musim kemarau pasti awan seperti ini terjadi, cuman ini mungkin karena lingkarannya lebih besar,” tandasnya. RUL.