Oleh WS Irawan
‘sirih pinang bilang, aku dan Ida akan menjadi kekasih terlarang. seekor monyet besar datang dengan menyeret batang yang terbakar’ (puisi Kiki. S).
Imajinasi adalah pikiran paling ketus, setelah kemiskinan melahirkan seorang seniman atau penyair. Dan komunitas kesenian atau seni atau komunitas kepenyairan adalah seperti nyala petromaks yang menyakiti perempuan berdaster yang membela anaknya sendiri dari perlakuan bejat sang suami. Tentu saja karena kesenian adalah pihak yang menerima atau menolak melalui standart estetik. Sehingga realitas menjawab secara idealistis, mitologis, romantis kadang dramatis. Meski cenderung miris secara matematis.
Kemiskinan memang bukan duplikasi dari karya seni. Kemiskinan mungkin semacam kesangsian, yang senantiasa berulang dalam setiap perhitungan dan rekam jejak pasar. Dan komunitas menempati posisi labil. Tergeletak tampak ‘jorok’ diantara kebajikan-kebajikan penguasa dan realitas sosial. Dalam arus waktu itulah komunitas di pandang sebagai mitra bahasa. Simbol mutahir dan birahinya persenyawaan bahasa visual. Yang diharapkan berimplikasi secara literer dan mampu mengakomudasikan ‘kehendak’. Atau merumuskan keredaksian ego lirik seniman.
Komunitas kesenian atau seniman atau komunitas kepenyairan, dimana pun di Indonesia, kita akan menyaksikan kemiskinan mutakhir, dari pemaknaan kapitalnya. Komunitas menjadi semacam perpanjangan alam bawah sadar yang hidup. Dan memiliki metabolisme bawah sadar kolektif khas pelaku seni. Sebab kesenian tak memiliki biografi anggaran yang jelas dalam memerangi sistem dan kemiskinan gagasan, diantara riwayat kebijakan penguasanya. Kalau ia seorang kreator seni, ia belum bertanggungjawab pada terciptanya kondisi normatif. Ditambah secara estetika, tak sanggup melayani sejumlah keputusan adi kodrati dari dugaan-dugaan matematisnya.
Berhadapan dengan naluri primitif bernama kemiskinan dan proses kreatif ini, membuat setiap ajang atau kegiatan pertemuan seniman atau penyair di indonesia tampak gagal melacak fungsi dan esensi kesenian. Dan terjebak tawaran ide re-kreatif semata.
Kesenian adalah kebenaran atau keteraturan rahasia dari sejumlah perilaku sosial masyarakatnya. Bahwa di dalam kemiskinan kenyamanan penikmat seni meraih kebenaran sementara, menjadi otentik dan nyata. Meskipun belum ada catatan yang jelas hidup-matinya komunal atau komunitas seni atau kepenyairan.
Komunitas adalah prestasi dari pelarian diri dan tindakan penghianatan etik yang terus menerus dievaluasi oleh pikiran obyektif modernitas. Dari nilai-nilai yang ada dalam pelaku-pelaku seninya sendiri. Kesenian Kepenyairan dan kemiskinan adalah gejala bahasa yang berusaha luput dari anggaran kebijakan birokrasi. Komunitas seni ini menjadi semacam bangunan ‘mistis’ masyarakat dalam berbahasa di luar pemahaman struktural apapun.
Komunitas seniman dan kepenyairan adalah pemimpin yang lengkap dengan orde dan bahasa. Walaupun sanad itu lemah secara politik. Etika sosiologisnya pun terlalu naif. Namun, jika kita semua berkepentingan dengan adanya komunitas kesenian dan kepenyairan. Memahami komunitas sebagai pihak yang paling jujur, polos tanpa praduga dengan apa yang tersusun sebagai popularitas. Maka secara obyektif pun dapat terbaca secara kapital. Bukankah kapitalsme lebih manusiawi dalam realitas politik dan sosial? Meski secara metafisis gagal merumuskan ‘kedewasaan’ bahasanya. Dan dalam etika kekuasaan menyebutnya sebagai pihak yang berkepentingan.
Kekuatan dan kelemahan para pekerja seni di komunitas-komunitas kepenyairan atau kesenian adalah standar kualitas individual dalam menghayati dan menyadari kenyataan realitas sosial. Sebagai entitas tunggal beralamat. Meski ditemukan banyak migrasi linguistik. Dan ekspresif mempromosikan pengertian dengan mereproduksi polemik di koran (baca; pasar) semisal begitu. Tetapi pekerja seni tak memiliki imunitas yang cukup-cakap, imun dan cerdas memurakan ‘maksud hati’ secara sosial.
Maka kesenian yang baik identik dengan keteraniaan atau ketertindasan psikologis. Rekam jejak itu, secara ideologis menjadi semacam justifikasi. Pengakuan secara sosial itu pun meng-amini pembagian peran kultural dan jarak secara sosial. Pembabtisan ini nyatanya tak sanggup mendisain secara etis prilaku pengambil kebijakan. Justru menjadi semacam motif kembang di sepanjang dinding-dinding tebal realitas politis berbasis anggaran dan literatur yang punya kepentingan.
Apa penderitaan paling pahit di rumah sendiri? Adalah; Ketika orang-orang termarjinal tidak ada didalamnya. Sebab popularitas makmur di ranah imajiner.
Adalah sebuah kesalahan, tidak mengantuk berada ditengah kesimpulan-kesimpulan koran dan televisi. Berkesenian dan seni kekinian dalam komunitas adalah kitab yang memuat kapan bergumam, kapan berfikir ideal, kapan berekreasi secara literer untuk dianggap tengah bertanggungjawab, peduli dan empati pada pemecahan masalah-masalah politik dan realitas sosial.
Hadirnya komunitas seni, kesenian atau kepenyairan adalah otoritas tunggal eksistensi. Kemurahan hati, hasil dari keyakinan yang luput untuk mengakhiri kesia-siaan di situasi yang rawan. Yaitu finansial estetik dan etik. Kesenian adalah ayah-ibu dan saudara-saudara yang menangisi kelaparan teori-teori ideal pada adi kodratinya sendiri. Secara etik komunitas kepenyairan dan komunitas seniman adalah kepercayaan diri yang tergeletak tak berdaya. Riwayat hidup dan prioritas eksistensi yang gaduh dan meracau di tengah logika imajiner bernama bahasa. Di perlukan tumpuan yang lebih kongkrit bagi komunitas kepenyairan dan komunitas seni, sebagai terminal imajiner dari intervensi antar teksnya.
‘Adakah pelukis yang melukis sebuah lukisan demi lukisan itu sendiri’ ( Jallaludin Rumi ).