Kenapa humor itu penting dalam konteks birokrasi dan kekuasaan hari ini. “Karena ketegangan adalah bentuk sikap represif kebatinan terstruktur dari konsep bahasa,” ungkap Epol Sapturi. Dan, humor adalah nalar pendek dari kejadian atau peristiwa sarat intrik dari kritik atas keadaan, kebodohan juga ketersinggungan budaya. Oleh sebab bentuk kebahagiaan berkapasitas tinggi dan cepat meredaksikan suasana hati.
Hal itu mengemuka pada acara ‘HUMOR DALAM PERSPEKTIF ISLAM’ dengan pemateri Abu Macel. Sabtu (18 Mei 2019) di Lobi Gedung Tertutup Taman Budaya NTB.
Orang tegang karena antrian tak mengungkapkan kehadiran lebih otentik. Dan humor adalah perspektif kolektif merangsek berebut motivasi untuk hadir lebih dini dari semua kecenderungan dan tekanan nalar.
“Memang pas kalau Saepuloh Sapturi menjadi moderator pada hari ini.” ungkap Abu Marcel di awal diskusi. “Karena ini hari Sabtu terkait bahasa keagamaan, nama Sapturi mengingatkan pada hari Sabtu. bahwa ‘Humor’ hari ini adalah ‘Humor’ hari Sabtu! Saya juga baru tahu kalau humor itu punya hari atau humor perlu atau punya agama. Kalau hari ini kita bicara humor dalam perspektif Islam, artinya lain kali humor dalam perspektif Kristen atau Hindhu!” tambahnya.
Menyatir tokoh pelawak besar kontroversial ; ‘Aku hanya menyisakan satu hal, hanya satu hal yaitu pelawak. Itu membuatku berada pada posisi yang lebih tinggi dari politikus manapun’. (Charlie Chaplin).
Chaplin adalah salah satu orang kreatif dan memiliki kepribadian berpengaruh diera silent film. Kariernya di film hiburan berlangsung selama 75 tahun dari panggung Victoria, music hall di united kingdom hingga kematiannya di usia 88 tahun. Kehidupan pribadinya ditandai sanjungan dan kontroversi. Chaplin diidentifikasi sebagai pendukung left wing politic selama era McCharty dan ia akhirnya dipaksa untuk bermukim kembali di Eropa tahun 1952.
***
Jauh sebelum jaman Stand Up Comedi, di Indonesia banyak pelawak legendaris menjadi ikon, diantaranya Kwartet Jaya; Ateng, Ishak, Bing Slamet almarhum juga Edi Sud. Benyamin Sueb, Warkop DKI Dono, Kasino, Indro. Doyok – Kadir, Srimulat dll.
Artinya, realitas masyarakat secara politik maupun sosial sarat intrik dan kritik. Dinamika kritis itu melahirkan kecerdasan juga kejenakaan tapi lugas yang pegas. Mampu melenting, melampaui tekanan-tekanan psikososialnya. Ia hadir sebagai pemberdayaan rasa malu, sikap memaafkan diri sendiri atau semacam koordinasi literer dari konektifitas masyarakat kelas dan bergumam dalam antrian panjang pemberdayaan. Baik secara sosial maupun secara ekonomi. untuk mendapat pemahaman dari literasi dan narasi kekuasaan.
Pada humor atau lawakan kesalahpahaman adalah kreatifitas paling renyah setelah manusia menyadari tekanan hidup pun sebagiannya adalah simpul-simpul kedaulatan hakiki dari kemerdekaan pun adanya kekuasaan itu sendiri.
Kisah Abu Macel
“Ketika ada sejumlah mahasiswa ke RS Gila. Sampai di sana ia melakukan riset, ngobrol dan kemudian selesai. Di halamannya salah satu mobil mahasiswa miring karena terlepas satu rodanya. Kemudian salah seorang dari orang gila di RS Gila mengatakan: ” Coba ambil satu dari tiap-tiap baut dari tiga roda lainnya itu kau lepas dan pasang pada roda yg terlepas itu. Mobil itu pasti bisa tegak dan kau bisa kendarai lagi!”
Lalu dikerjakanlah oleh mahasiswa itu. Kemudian mahasiswa itu berkata; “Kok kamu pintar sekali, gagasannya luar biasa dan punya ide cemerlang seperti ini. Tapi kenapa kamu di RS Gila ini?” tanya mahasiswa.
Jawab orang gila kemudian; “Saya memang di RS Gila tapi saya tidak bodoh seperti kalian!”
Ada pemaafan di wilayah nalar yang kemudian menjadi logis. Pun dalam perspektif agama. Dan humor adalah metodelogi yang dibangun oleh relasi dimaksud, dari antrian panjang semua kemungkinan bahasa untuk dianggap.
Humor atau lawakan adalah stelisasi paling mungkin dari kegilaan anggapan atau dianggap gila. Karena sterilisasi dari wilayah hukum. Sekalipun kejumudan logika itu mengadopsi kelucuan atau humor. Semisal begitu.
Pertanyaan ; “Kita kenal tokoh seperti Abu Nawas. Apakah anekdot itu dirinya sendiri atau literasi?” tanya Adam Gotar
Jawab Abu Macel, “Ada pertanyaan lucu. Ada orang bercerita pada saya.
“Siapa sih membisikkan Rasulullah bahwa puasa itu 30 hari? Saat Rasulullah menerima perintah sholat lima waktu negoisasi terjadi. Sehingga perintah sholat 50 kali sehari semalam kemudian menjadi 5 waktu saja dalam sehari semalam. Tapi kenapa tidak ada negoisasi pada 30 hari perintah Puasa Ramadhan?
Jawabnya; Karena
perintah sholat langsung diterima Nabi dari Sidratul Muntaha. Sementara
perintah Puasa Ramadhan disampaikan oleh Jibril. Kenapa tidak bilang sama
Jibril puasa itu 3 atau 5 hari. Maka Jibril menjawab; “Saya ini malaikat
penyampai wahyu bukan malaikat penerima pengaduan.”
Menjawab
pertanyaan Adam Gottar soal Abu Nawas. Abu Macel menjawab; “Abu Nawas itu ada tokohnya, Abu Anawas. Anawas
itu artinya cerdik.
Alkisah sebelum kematiannya pun Abu Nawas
berpesan minta kain kafannya berwarna hitam dan bukan kain kafan putih. Alkisah
ketika didatangi malaikat. Abu Nawas menjawab “Anda terlambat malaikat,
sampai hitam kain kafan saya!” jelas Abu Macel
Begitulah
kecerdikan humor, apakah kekuasaan merawat narasi Abu Nawas untuk memahami
konstalasi dari keredaksian bahasa itu juga soal konektivitas ide atau gagasan
berebut maksud.
“Saya
tidak menarik kepersoalan politik. Humor itu serius,” ujar Arwah
Setiawan. Sebagai contoh Gus Dur ikonnya khan ‘Gitu ajha kok repot’.
Padahal repotnya luar biasa. Atau ungkapan Gus Dur; ‘DPR seperti anak TK.’
Sejatinya yang dihadapi analoginya adalah seperti menghadapi anak-anak TK. Atau
almarhum Soeharto dengan ikonnya ‘Gebuk’, semisal begitu. Bisa macam – macam
penafsirannya. Humor pada konteks ujaran atau humor dalam ucapan, atau
humor dalam konteks tadabbur.
Ungkap Zaeni
Mohamad atau akrab dipanggil Masje, Musolini, Hitler itu juga humoris. “Tapi
karena bahasanya sulit dicerna puitika jadi sonder konteks!” tambah
Masje.
Menurut
Abu Macel, kalau awam mengunakan
puitika alphabetika, dia melakukan dengan pendekatan huruf Hijaiyah.
“Karena politik praktis adalah soal diksi dari sejumlah kontradiksi. Maka pada fase itu, bahasa membangun korelasi dalam peristiwa budaya. Maka humor dalam konteks keislaman adalah metodologi dari nalar politik. Sehingga humor dibutuhkan dalam kontradiksi itu. Pun jika itu dianggap merepotkan seperti Ikon Gus Dur “Begitu saja kok repot!”. ws irawan, musisi