Catatan Si Yoi South of Asia (6)
Jalan yang kulewati cenderung bergelombang. Pal jalan dan rambu-rambu kadang di sebagian tempat tak meninggalkan catatan. Di kanan-kiri lorong-lorong PT penggarap Sawit yang panjang dan cukup jauh ke kedalaman kampung di Sumatera, menambah kesunyian dan kekosongan. Teduh dan sikap nyaman jadi begitu aneh kurasakan.
Satu atau dua Satpam kita jumpai di sana. Duduk menunggu di rumah jaga. Tak ada televisi, tak ada radio. Entahlah apa yang mereka pikirkan dalam tugasnya dari pagi sampai siang. Paling tidak sampai pergantian waktu jaga, kecuali disibukkan gedget dan aplikasinya.
Di kebun-kebun karet, rumah-rumah sederhana tampak asri, teduh dan nyaman. Kondisi yang kulihat seolah-olah seperti menjanjikan ketenteraman yang diidamkan setiap mereka yang lalu-lalang.
Rumah berbahan kayu, hijau rerumputan dan luruhnya dedaunan seperti menyumbang zat yang aneh untuk dihirup sehari-hari. Matahari sedikit terhalang rerimbun pepohonan sehingga bayangan kesederhanaan terpancar dan semerbak secangkir kopi atawa teh yang lebih bernilai dibanding teh atau kopi di kedai atau warung pinggir jalan atau di Pos Satpam.
“Hidup di pedalaman lahan perkebunan jadi begitu romantisnya,” gumamku di atas kayuhan sepeda.
PENTING ADALAH SIBUK.
Aku siapkan mie goreng telur dan kopi untuk satu termos mini. Kira-kira, pukul 06.00, kuputuskan meninggalkan Kantor Walhi – Jambi menuju Tungkal Illir. Seminggu lebih kurasakan cukup untuk mengembalikan semangat dan mengelola kembali kejenuhan selama melintasi Lampung sampai ke Jambi.
Langit-langit mendung, namun udara dan cuaca cukup cerah. Sambil bernyanyi-nyanyi kecil kuharap semangat dan kejenuhan bisa kuobati sendiri. Ada perasaan enggan meninggalkan Jambi. Keakraban yang terbangun membuat rasa engganku sesekali merengek minta kembali atau paling tidak menunda untuk beberapa hari lagi berada di Jambi. Tapi sampai di kilometer 20 perasaan itu mulai sirna.
Menyusuri Sungai Batanghari adalah menyusuri lintasan sejarah kebesaran Sriwijaya. Sekaligus ketangguhan riwayat perdagangan dijamannya. Tapi juga catatan etik orang manca dan orang pribumi dalam mengelola kesadaran pasar.
Begitulah nilai-nilai kultural dan kejayaan suatu peradaban berakulturasi di tengah pasar. Norma dan aturan main juga kebajikan tumbuh dan berkembang, terinspirasi dan diapresiasi manusia. Tapi petualangan seolah lebih purba ketimbang catatan atau peninggalan sejarahnya.
Route Jambi ke Tungkal Ilir ini cenderung datar dan berkelok. Tapi diatas kilometer 50 jalan mulai mendaki. Kanan-kiri tampak berbukitan sawit sejuk dan nyaman. Pepohonan masih rindang juga sebagian rawa-rawa. Tampaklah rambu jalan menunjuk arah ke Tungkal Ilir. Tercatat di Pal jalan 83 kilometer. Waktu menunjukkan pukul 10.00. Perkiraanku, perjalanan akan bisa selesai selama kurang delapan jam sampai ke Tungkal ternyata keliru. Jam 4 sore, aku baru sampai Tungkal. Saat seorang kawan Onthel si Rizal Choneng menegurku:
“Mas Wing Sentot?” sergahnya.
“Saya Rizal suruhan Levi!” Rizal mengulurkan tangan dan menjabat tanganku. Senyum kesahajaan tergambar ringan.
“Lho, …Ini Rizal? Levi mana?” tanyaku.
“Masih di Kantor! Sebentar juga pulang. Kita langsung menuju rumah Levi saja!” paparnya.
Meski akhirnya kami berpapasan dengan Levi di jalan sepulang dari kantor, di rumah Levi beberapa kawan Ontel lain satu demi satu datang dan mengucapkan selamat. Said, Nanda, Cik Isul, Sendi dan juga keluarga Levi berkumpul di teras rumah ngobrol sampai menjelang malam. Anehnya aku tak merasa asing dengan keluarga Levi dan sebagian di antara komunitas Onthel yang menyambutku. Tiba tengah malam dengan dibonceng si Levi. Kami pun berkeliling Kota Tungkal menuju rumah wakil bupati dan Dandim untuk silaturahmi. Karena Tungkal Ilir kota kecil, kehadiran orang baru menjadi perhatian pemerintahnya. Tetapi kata “sibuk”, di kota kecil atau kota besar tetaplah sibuk. Pejabat identik dengan sibuk. Adalah aneh, disebut pejabat kok tidak sibuk. Begitulah kami di ruang tunggu Wakil Bupati malam itu yang kebetulan ada tamu. Pun saat mampir ke rumah Dandim. Keduanya “sibuk”.
“Bahkan petualang lebih sibuk!” ungkapku.
Lantas kesibukan petualangan macam apa?
Berkeliling di Tungkal Ilir di waktu malam, adalah mengelilingi liarnya pikiran-pikiran aneh petualangan. Kota kecil dan asri ini seperti sisa-sisa sejarah yang dibawa orang-orang Thai atau orang Siam. Mungkin Tungkal tempo dulu sangatlah ramai dan dijadikan pusat perdagangan orang-orang manca, utamanya yang datang dari negeri tetangga. Logika itu tiba-tiba saja muncul. Apa karena penduduknya berkulit putih dan bermata sipit khas masyarakat Thai atau Siam itu? Padahal mata sipit, atau kekhasan adalah juga kemiripan-kemiripan. Tapi mengidentifikasi kemiripan, secara geografis dan kultural adalah juga mengidentifikasi logika pasar. “Sebab di pasar hawa petualangan juga berembug kemiripan,” pikirku.
Lorong Mangga, begitulah namanya. Dikampung itulah aku bermalam. Lorong dengan Rumah Kayu berdiri di atas tanah rawa berdekatan dengan muara anak sungai di Sumatera. Rumah semi Panggung Kayu mengisaratkan rumah-rumah kaum urban suku Melayu dari berbagai wilayah yang tersebar di daratan Sumatera. Begitulah malam berlalu, begitupun keakuan melewatkan malam itu.