LOTIM, Literasi – Sembalun tidak hanya hamparan pemandangan yang indah. Kawasan di wilayah Lombok Timur juga menjadi surganya hortikultura. Sayur mayur dan komoditas buah berbagai jenis bisa tumbuh di daerah ini. Salah satunya, Ashitaba (Angelica Keiskei Koidzumi), tanaman khas Jepang yang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan.
Ashitaba dikenal sebagai tanaman obat yang memiliki beragam fungsi baik daun, getah dan akarnya yang bisa dimanfaatkan dan bernilai ekonomis bila dikelola dengan baik. Salah satunya milik Haji Aidir, di Dusun Pesanggrahan, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur.
Sedangkan sejarah awal mula tanaman Ashitaba ditanam di Sembalun, yakni sekitar tahun 1996 dan 1997 yang dibawa oleh wisatawan asal Jepang. Karena pertumbuhannya yang cepat di Sembalun, kemudian warga Sembalun berbondong-bondong menanam Ashitaba di setiap pekarangan rumah ataupun kebunnya.
Hanya saja, karena over produksi dan sistem pemasaran yang tidak maksimal, kemudian petani banyak yang mengalami kerugian. Namun, Ashitaba masih ditanam oleh para petani Sembalun, sebab usia Ashitaba yang bisa mencapai 15 tahunan.
Menurut Haji Aidir, salah seorang petani setempat, harga getah Ashitaba cukup bagus menembus harga Rp 700 ribu per-kilogram. Produksi Ashitaba setiap 1 hektar lahan tanam bisa menghasilkan 10 ton daun Ashitaba basah, atau sekitar 1 ton jika dikonversi menjadi Ashitaba kering.
Sayangnya, meski bisa tumbuh lebih subur dibanding di negara asalnya, Ashitaba Sembalun masih terbentur sistem pengolahan dan manajemen pemasaran yang belum maksimal.
Salah seorang pengusaha nasional, H. Bambang Kristiono, yang akrab disapa HBK menilai manajemen pemasaran dan pengolahan tanaman holtikultura Ashitaba yang dikembangkan di kawasan Sembalun, Lombok Timur, masih perlu dibenahi dan diberdayakan.
Pohon Ashitaba di kawasan Sembalun, dari sisi pertumbuhan lebih cepat (dibanding) dari negara asalnya (Jepang).
“Jika di Jepang Ashitaba yang dikembangkan melalui Teknologi Green House baru bisa dipanen 7 bulan semenjak pembibitan, tapi di Sembalun Ashitaba bisa dipanen pada usia 3 sampai 4 bulan setelah pembibitan, ini luar biasa,” ujar HBK, Senin (11/2).
Masalahnya sekarang petani Ashitaba Sembalun terbentur pada pemasaran dan harga yang kerap fluktuatif. Perlindungan terhadap hasil produksi dan pemasarannya masih lemah dan harus diperbaiki. Hal ini akibat pemasaran Ashitaba Sembalun yang tidak dilakukan dengan profesional, produksi Ashitaba Sembalun telah jatuh kepada segelintir orang (tengkulak) yang hanya memikirkan untung besar bagi dirinya sendiri.
Petani Sembalun tidak memiliki akses, networking atau jaringan pasar yang langsung ke end user (pengguna). Mereka belum memiliki kemampuan untuk menembus pasar yang lebih luas. Keterbatasan jaringan pemasaran para petani Ashitaba Sembalun, membuat harga tidak stabil, kemudian tidak semua hasil panennya bisa terserap pasar.
Untuk itu, HBK berjanji mendatangkan rekan bisnisnya yang berasal dari Taiwan yang bergerak di bidang produk Ginseng dan turunannya untuk datang ke Sembalun. Tujuannya untuk menawarkan kemungkinan prospek bisnis tanaman holtikultura ini, untuk dikembangkan kedepannya.
“Sembalun itu ibarat taman sari holtikultura di Pulau Lombok, yang bisa ditanami apa saja karena tanahnya yang begitu subur juga pemandangan alamnya yang sangat indah,” tegas HBK seraya menambahkan, produksi Ashitaba Sembalun akan memberi dampak ekonomis luar biasa jika berhasil menembus pasar ekspor. RUL.