Sabtu , Februari 15 2025

Dari Pasar Loak Cakranegara sampai Asia Tenggara

Catatan Si Yoi South of Asia (1)


   “Dijual, Pak?”

    Aku melihat penampakan sepeda warna hijau tua, buduk dengan ban belakang kempes. Seorang laki-laki bertopi, berpakaian rapi, bercelana jeans coklat, bersandal jepit, berdiri di sebelah sepeda itu. Rada kontras dengan barang dagangannya, namun ia seperti setia menunggu seorang pembeli. Dan, pembeli itu harus aku.

   “Iya! Sepeda ini saya jual, Pak!”

   “Berapa?”

   “Seratus tujuh puluh lima ribu saja!”

   “Kemahalan!”  selorohku melihat penampakan sepeda yang tak layak pakai itu.

   “Seratus lima belas ribu, ya?” tawarku.

    Sepertinya ia sedang perlu duit. Nampak tak masuk akal menjual sepeda tak layak di antara pedagang sepeda loak lain. Tapi ia sepertinya tahu duit berlebih di dompetku. Tak ada cukup ruang dan waktu untuk tawar-menawar. Apalagi menunggu sampai toko sepeda di sekitarnya buka.

    “Okelah, kalau gitu seratus dua puluh lima ribu!”

   Aku bisa saja menekan lebih murah meski tak yakin sepeda seharga itu bisa aku dapatkan di toko sepeda di sepanjang daerah loakan. Sebentar lagi toko-toko bakal buka. Tentu akan semakin banyak menguras stamina saat tawar-menawar. 

    Ia pun mengangguk tanda setuju.   

    Wuduh!

     Sepeda langsung kutuntun menuju toko dan bengkel terdekat. Ganti ban depan dan belakang, stang, perbaikan rem, pasang ring bel dan rak belakang. Berikutnya melengkapi dengan tas. Setelah itu, kurasa sepeda ready. Cek di dompet, duit tinggal satu juta setengah. Kupikir, cukuplah buat bekal perjalanan.

     Saatnya melatih dan mengukur kesanggupan fisik.

     Dengan bekal seperlunya,  aku kelilingi Lombok. Kurang lebih selama 4 sampai 5 hari menempuh perjalanan. Dari Mataram menuju Mongkey Forest, Pemenang, Gangga, Tanjung, Sambelia sampai Labuhan Lombok, Selong ke Labuhan Haji arah ke Praya dan balik lagi ke Mataram. Sukses? Tentu saja. Ini untuk pertama kali. Sukses mengayuh, sukses bisa menginap di masjid-masjid. Da, sukss bisa kembali.

    Merasa yakin mampu mengelilingi Lombok, keinginan melakukan perjalanan bersepeda menuju Aceh aku utarakan pada kawan Walhi di Lombok. Karena aku tahu jaringan Walhi ada di seluruh Indonesia.

    “Kapan berangkat? Ini alamat Walhi di sepanjang Jawa – Sumatera, yang bisa Mas hubungi!” ungkap Eksekutif Walhi Lombok padaku saat itu.

    Tinggal menentukan tanggal keberangkatan, sambil mencari dan menentukan pilihan hari besar di kalender. Akhirnya kuputuskan dan memilih tanggal 22 April 2006 bertepatan dengan Peringatan Hari Bumi.

    Rute perjalanan  menuju Aceh sampai ke Sabang pulang – pergi itu kemudian kulakukan. Semuanya menempuh kurang lebih 6 bulan perjalanan. Dan, tentu sukses karena ini untuk pertama kali.

     Setelah istirahat setahun lebih, aku ingin melakukan perjalanan lagi.

     Pikirku, kenapa sudah sampai Sabang kok tidak lanjut ke Merauke? Bukankah Indonesia Sabang sampai Merauke?

    Akhirnya pada peringatan Hari Bumi 22 April 2008 kuputuskan melanjutkan perjalanan menuju Merauke. Namun, berhubung kapal ke Merauke mangkrak di Bitung, perjalanan aku sudahi di Sorong dan kembali ke Makasar. Dari Makasar menuju ke Kendari menyeberang ke Kalumantan. Dan, dari Banjarmasin menuju Semarang lalu kembali ke Lombok. Itu semua kulakukan selama setahun.

    Hampir seluruh provinsi di pulau-pulau besar sempat aku kunjungi.

     Setelah istirahat kurang lebih setahun lamanya, dari wawancara seorang wartawan ditahun 2010 usai keliling Indonesia Timur, semangatku terpacu kembali. Ini setlah mendengar pertanyaannya.

     “Mas, apa cita-cita berikutnya setelah selesai keliling Indonesia Timur?”

     Saya menjawab, “Nulis buku dan Insya Allah keliling Asia Tenggara!” ungkapku

     Sebab itulah, dalam rangka peringatan Hari Bumi 22 April 2012 aku berusaha mewujudkannya. Tentu tak segampang saat perjalanan keliling Indonesia Sabang – Merauke. Tapi pengalaman perjalanan itu cukup buatku mematangkan keinginanku keliling Asia Tenggara.

    Yang pertama aku kerjakan adalah mengumpulkan klipingan koran perjalanan dan klipingan koran berkesenianku. Kulampirkan semua dalam proposal dan kualamatkan ke beberapa instansi terkait. Dari Dinas Pendidikan, Dinas Pariwisata, Gubernuran dan beberapa pengusaha dan perbankkan swasta di daerah Lombok.

    Betapa repotnya mengurus proposal ke instansi pemerintah itu. Bukan saja mesti sabar, tekun dan memahami prosedur atau aturan birokrasi, juga bekal jaringan pertemanan. Meskipun uang peruntukan itu tersedia di instansi tapi standar birokrasi yang kurang terukur menjadi sebab munculnya peluang penyelewengan terstruktur. Belum soal pelayanan, jaringan pertemanan di birokrasi dst. Rumit di nalar akal sehat utamanya masyarakat umum. Sebab sosialisasi anggaran terkait kebijakan publik, bahasa perundangannya seolah diperuntukkan buat pegawai Instansi terkait. Dengan kode bahasa standar birokrasi yang njlimet. Apalagi sosialisasinya itu terkait kebijakan publik. Berfikir sebagai kesengajaan laten akan memunculkan tafsir. Tafsir mengakibatkan  kerumitan birokrasi. Dan masyarakat jadi apatis pada haknya sementara anggaran dibatasi waktu. Pada kondisi seperti itu, anggaran bablas disikat siluman.

     Itulah kenapa kebijakan anggaran peruntukannya kerap diselewengkan. Akhirnya mesti menunggu anggaran baru. Kerumitan berkepanjangan itu membuat masyarakat merasa jadi bulan-bulanan. Seperti dijebak oleh aturan permainan yang diciptakan oleh layanan bayangan. Kadang birokrasi improvisasi berdalih ini-itu dengan alasan macam-macam. Yang terjadi kemudian membuat jalan tikus dengan sedikit imbalan. 

     Pola itu adalah bentuk layanan bayangan antara masyarakat dan birokrasi yang melahirkan  kebijakan berbasis siluman. Sebagai pelayan dan abdi masyarakat, PNS mestinya berkewajiban melayani masyarakatnya. Justru terkesan seperti ingin dilayani dan dihormati bukan sebaliknya. Itu terbukti, di beberapa instansi, tumpukan proposal sampai bertahun-tahun dibiarkan terkatung, mangkrak di instansi terkait membangun literasi aneh.

    “Kalau mau ketemu Wagub, sebaiknya pagi Jum’at bersih, Mas!”

     Kata seorang kawan yang kebetulan  bekerja di Gubernuran agar aku sebaiknya bertemu langsung dengan Wagub sehingga proposalku mendapat perhatian.

     Akhirnya, pagi Jum’at selesai acara ‘Jum’at Bersih’, saran itu aku coba. Kulihat beliau sedang bercakap-cakap dengan staf di depan pendopo. Kesempatan itu kumanfaatkan untuk menyampaikan maksud dan keinginanku keliling Asia Tenggara dengan mengayuh sepeda.

   “Senin, di kantor saja, ya!” pinta Wagub saat itu.

     Tidak terbayang akan segampang itu berhadapan dengan Wakil Gubernur. Sebagai orang awam tentu aku diuntungkan oleh keadaan. Kesempatan itu aku manfaatkan betul-betul untuk mewujudkan impianku bisa mengelilingi Asia Tenggara dengan sepeda.

     Senin paginya aku langsung menuju ruang kerja Wagub. Tanpa prosedur rumit Wagub menyetujui proposal yang aku ajukan. Wagub bersedia membantu kegiatan Tour itu 5 juta rupiah. Namun, dengan catatan dana itu mesti dicari di dua instansi yaitu Dinas Pendidikan dan Dinas Pariwisata.

    Berbekal rekomendasi itu aku datangi dua dinas tersebut. Meskipun akhirnya uang yang aku dapatkan tak memenuhi kuota sebagaimana surat rekomendasi Wagub, tak apalah. Pikirku, mungkin dari rekanan dan instansi swasta aku bisa menutupi kekurangannya.

    Menunggu lebih dari seminggu, Surat Jalan dari Kapolda dan Dinas Pariwisata, belum juga rampung. Padahal anggaran sangat terbatas. Aku putuskan untuk segera berangkat. Perkiraanku sebelum sampai ke Jawa surat jalan itu pasti sudah selesai. Dan, bisa dikirim via Pos.

     Aku mulai aksi ngamen, Performing art Musikalisasi sambil lelang CD lagu karyaku sendiri.   

     Bekerjasama dengan Walhi dibantu seniman dan penyair yang kukenal di Bali. Dari kegiatan itu aku mampu mengumpulkan dana sampai Rp 2 juta lebih. Kemudian kulanjutkan perjalanan dari Denpasar menuju Kabupaten Jembrana, Bali.

    Setiap daerah yang kulewati dan kuhampiri selalu kusempatkan melakukan perform musikalisasi karya sendiri. Mengumpulkan donasi menambah bekal perjalanan bersepeda keliling Asia Tenggara.

     “Apa harapannya setelah mengkampanyekan lingkungan dengan berkeliling mengayuh sepeda ke Asia Tenggara ini nantinya?” tanya seorang wartawan.

   “Tentu tak ada yang cukup berarti. Sampai perubahan dalam diri pribadi ini sanggup menyatakan; Harapan itu memang benar mewakili cita-cita dan impian kita semua. Belajar dari  mencermati perubahan lingkungan dengani mengayuh sepeda,” jawabku.

    Banyak orang ‘gila’ dengan ide dan gagasan gilanya menyuarakan hal yang tak jauh beda. Tapi menurutku, waktu dan momentum juga punya cara dari setiap upaya sekecil apapun dalam kehidupan ini. Maka lakukanlah dengan kesungguhan dan keIkhlasan yang kafah. Setiap kita adalah gembala, bagi cita – cita yang digembalakannya. Maka akupun bersepeda, meminta jawaban dari momentum itu. Dan, berharap Tuhan menggenapinya. Sebab kehadiranku adalah kepercayaan Tuhan sendiri pada sesuatu yang disebutkanNya. My Journey

Check Also

Lalu Suryadi Mulawarman, Seniman Tari dengan Segudang Prestasi

Bagi jagad kepenarian NTB, siapa yang tidak kenal Lalu Suryadi. Sosok  enerjik yang telah mengharumkan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *