Kamis , Januari 16 2025

MEMBANGUN KONEKTIFITAS DESTINASI

Oleh Mohammad Joemail, M.Par

Pendahuluan

Salah satu kunci keberhasilan pengembangan destinasi adalah terbangunnya konektifitas dengan semua sector yang terkait dengan pariwisata. Konektifitas juga merujuk pada jaringan. Destinasi yang yang sudah memiliki jaringan dan konektifitas maka kemungkinan untuk survive dan sustain menjadi lebih besar dari pada destinasi yang belum memiliki keduanya. Hal ini menjadi suatu keharusan bagi destinasi di kondisi pasar wisata global yang semakin kompetitif. Seperti diketahui bahwa pariwisata yang sudah berada pada level global maka sistemnya juga pasti sudah memiliki standar global.

Untuk itu, diperlukan relasi inter-organisasi kepariwisataan yang ada. Walaupun jaringan pariwisata memiliki keunikan dalam hal karakteristik strukturalnya jika dibandingkan dengan jaringan industry. Jika relasi tersebut dapat dibangun dengan baik maka destinasi wisata dapat menciptakan apa yang disebut sebagai keunggulan bersaing (competitive advantage). Beberapa faktor yang menentukan konektifitas global suatu destinasi juga dipengaruhi oleh besar kecilnya  destinasi, kapasitas kreatifitas yang ada, eksistensi, dan modal sumber daya manusia yang ada.

Faktor lainnya juga adalah seberapa banyak perusahaan internasional beroperasi di destinasi (Marquardt & Snyder, 1997). Frekuensi atau tingkat kunjungan perjalanan internasional ke suatu destinasi juga menjadi indikator lainnya. Termasuk juga tenaga kerja asing dan arus investasi (Lussier, Baider, & Corman, 1994). Lebih lanjut, Lussier, et al., (1994) menegaskan bahwa konektifitas usaha pariwisata biasanya berada dalam 3 (tiga) kondisi berikut. Pertama pelayanan pada pasar global (frekuensi perjalanan internasional ke suatu destinasi). Kedua, eksistensi strategi dan fungsi global (penyatuan berbagai organisasi, perusahaan multinasional, aliran berbagai produk, dan kehadiran perusahaan internasional). Ketiga, arus modal asing (peran keuangan global, arus investasi global). Sebagai contoh, ketika di destinasi telah ada atau beroperasi tour operator internasional dan adanya asosiasi pariwisata global, maka konektifitas global sector perjalanan wisata di destinasi pasti sudah tercipta).

Dengan mendasarkan fenomena di atas maka permasalahan utama yang dihadapi destinasi pariwisata Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Lombok khususnya adalah belum terbangunnya konektifitas destinasi. Konektifitas tidak hanya pada aspek aksesibilitas tetapi juga amenitas, atraksi, dan ancillary (pendukung). Belum lagi kalau hal tersebut dikaitkan dengan levelnya, apakah destinasi pariwisata Lombok sudah terkoneksi secara lokal, nasional, regional, dan internasional?.

Pembahasan   

Access—connectivity

Prasyarat destinasi untuk dapat dikunjungi adalah tersedianya infrastruktur memadai, seperti jalan, penerangan, dan air bersih. Tentu hal tersebut diikuti rasa nyaman dan aman. Saat ini, kondisi infrastruktur hampir di semua destinasi dapat dikatakan sudah accessible. Wisatawan mendapatkan kemudahan dalam menjangkau antardestinasi (termasuk kenyamanan, keamanan, fasilitas dan ongkos) angkutan. Selain itu, ketersediaan transportasi umum yang melayani masyarakat dan wisatawan juga tersedia dengan berbagai pilihan. Keamanan dan kenyamanan, fasilitas, dan biaya angkutan yang murah juga menjadi pertimbangan wisatawan dalam memilih destinasi wisata yang akan dikunjunginya.

Namun kondisi nyata yang dihadapi wistaawan dan masyarakat lokal di destinasi bahwa sarana transportasi umum sudah tidak tersedia lagi. Hal ini dapat mempersulit dan mengganggu pergerakkan wisatawan untuk menikmati perjalanan wisatanya. Idealnya, destinasi wisata yang sudah terkoneksi aksesibilitasnya, maka  ketersediaan transportasi umum dengan berbagai moda pilihan tidak lagi menjadi masalah. Sebagai perbandingan, destinasi wisata di negara-negara yang pariwisatanya sudah maju, kepastian untuk mendapatkan berbagai moda layanan transportasi sudah tersedia dengan berbagai pilihan. Selain variatif, murah, nyaman, dan aman, layanan transportasi umum juga menyediakan fasilitas tambahan seperti bahan bacaan, diskon, dan berbagai macam voucher wisata. Kondisi ini lah yang hilang sekarang di destinasi kita.

Jadi, salah satu kunci keberhasilan mengembangkan destinasi wisata ada pada eksisnya layanan transportasi umum bagi wisatawan. Aspek yang juga tidak kalah pentingnya adalah masalah penerangan (lampu) yang tersedia di destinasi. Konektifitas pada aspek aksesibilitas destinasi pariwisata pada level lokal dapat dikatakan telah terkoneksi dengan baik. Disadari bersama bahwa tidak semua destinasi wisata yang ada di Lombok ini lampunya telah terpasang dengan baik (well installed) sebagai penerangan jalan umum (PJU). Namun, ada juga destinasi yang sudah sangat memadai dengan keberadaan PJU. Ini masalah sederhana, namun kalau tidak diperhatikan maka bisa menjadi citra yang buruk bagi destinasi. Dalam beberapa kasus, ditemukan juga wisatawan yang tidak berani keluar malam karena tidak adanya JPU di destinasi. Padahal, aktifitas wisata di malam hari, secara ekonomis sangat bagus, wisatawan banyak mengeluarkan uangnya untuk makan malam, membeli minuman di bar dan café dan mencari kebutuhan lainnya. 

Aspek terakhir dari aksesibilitas destinasi adalah ketersediaan air bersih baik untuk wisatawan, masyarakat maupun sector akomodasi. Seperti diketahui bahwa kebutuhan air untuk wisatawan selalu lebih banyak (dua kali lipat) dari masyarakat lokal di destinasi (UNWTO, 2001). Untuk aspek yang satu ini, semua destinasi yang ada di Lombok dapat dikatakan sudah memenuhinya. Selama ini, belum pernah terjadi atau terdengar sector akomodasi yang mengalami krisis air. Untuk itu, perlu juga mengantisipasi sumber air karena ke depan, kebutuhan akan air di sector akomodasi pasti semakin besar baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

Dengan demikian, konektifitas akses pada berbagai level menjadi suatu keharusan bagi destinasi agar sustainability dapat dicapai. Ide-ide yang mungkin dapat dipertimbangkan terkait kemudahan dalam menjangkau antardestinasi bagi wisatawan misalnya, dengan membuat kebijakan (tiket tunggal perjalanan yang berlaku untuk berbagai moda transportasi (darat, laut, dan udara) di destinasi yang ada di NTB, tentu dengan kemudahan (potongan harga, fasilitas, keamanan dan kenyamanan angkutan sudah termasuk di dalamnya). Jadi, wisatawan tidak perlu lagi membeli tiket, atau membayar tunai setiap biaya perjalanan yang mereka lakukan. Kemudahan-kemudahan seperti inilah yang belum dicoba sebagai sebuah terobosan dalam menciptakan nilai tambah, keunggulan bersaing dan daya saing destinasi.   

Amenity—connectivity  

Aspek kedua yang memainkan peran vital dalam operasional dan pelayanan pariwisata di destinasi adalah tersedianya berbagai jenis dan kelas hotel, restoran, bar, café, club, dan fasilitas hiburan lainnya. Dengan asumsi bahwa access—connectivity  sudah terbangun dengan baik maka sebenarnya eksistensi hotel dan sector akomodasi lainnya dengan berbagai pilihan kelas dunia juga sudah tersedia. Kalau amenitas ini sudah pada level amenity—global—connectivity maka perusahaan pariwisata multinasional dalam hal ini hotel dengan jaringan (brand) internasional sudah pasti beroperasi. Setidaknya ada enampuluh (60) perusahaan hotel dengan brand international seperti, 6 diantaranya adalah Marriot International memiliki jaringan hotel seperti (Ritz-Carlton, Bulgari Hotels, Edition Hotels, JW Marriot Hotels, St, Regis, Westin Hotels & Resort, Le Meridien, Sheraton Hotels). Kedua, Accor Hotels (Sofitel Legend, Fairmont, Raffles, Pullman, Grand Mercure, Novotel, Mercure, Ibis). Ketiga, Hyatt Hotels Corporation (Grand Hyatt, Park Hyatt, Hyatt Regency, Hyatt Place). Keempat, Four Season Hotels & Resorts (Four Season Hotels). Kelima, Shangri-La Hotels and Resorts (Shangri-La Hotels, Kerry Hotels). Keenam, Wyndham Worldwide (Wyndham Grand, Ramada Plaza, Wyndham Garden, Days Inn), dan The Oberoi Group (Oberoi Hotels, Trident Hotels).

 Begitu pula dengan tour operator, kalau destinasi itu sudah pada level amenity—global—connectivity maka tour operator international juga pasti sudah beroperasi. Sebagai referensi 10 Tour Operator International terbaik versi tahun 2018 seperti (Tauck, VBT Bicycling & Walking Vacations, Journeys Within, A Wild Frontiers Company, TCS World Travel, Trek Travel, Duvine Cycling & Adventure Co., Adventure Unbound, Classic Journeys, Transpacific Journeys, dan Artisans of Leisure).

Dari kedua contoh konektifitas global pada aspek amenitas tersebut, destinasi sesungguhnya sudah mampu mengetahui posisi dan jaringannya, sejauhmana konektifitas yang sudah dibangun selama ini. Apa sudah pada level nasional saja ataukah sudah menuju regional dan bahkan internasional. Hal ini berimplikasi pada investasi. Untuk itu, destinasi juga perlu menciptakan iklim investasi yang kondusif. Lebih lanjut, destinasi juga harus menyiapkan modal sumber daya manusia (human capital) sebagai pemroses pelayanan nantinya.     

Attraction—connectivity  

Seperti diketahui bahwa daya tarik wisata yang utama, yang menjadi andalan pariwisata NTB adalah keindahan alamnya. Mulai dari pantai, gunung, laut, dan pemandangan alam lainnya telah menjadi magnet pariwisata di daerah ini. Atraksi alam yang menjadi produk utama dalam promosi dan pemasaran pariwisata baik pada pangsa pasar wisata lokal, nasional, regional dan internasional telah mampu menarik minat banyak wisatawan dari berbagai Negara untuk berkunjung. Sejak tahun 2016 (targetnya 2 juta orang wisatawan), lalu dinaikkan menjadi 3 juta orang wisatawan pada 2017 dan menjadi 4 juta orang wisatawanpada 2018) semua target terlampaui. Kemasan produk alamnya adalah halal tourism, mulai dari branding untuk destinasi halal, resort halal, halal honeymoon destination, hingga website pariwisata terbaik.

Sejak bencana alam melanda pariwisata NTB khususnya Lombok pada bulan agustus 2018, hingga kini daya tarik wisata alam sepertinya mengalami stagnasi sebagai motivasi dan pilihan beriwsata. Jadi, ada semacam pergeseran paradigma dan motif berwisata setelah, tidak hanya Indonesia yang dilanda bencana alam tetapi juga destinasi di Negara-negara lain menghadapi hal yang sama. Memang belum dilakukan kajian secara mendalam, apakah bencana alam memberikan pengaruh signifikan terhadap motif berkunjung ke suatu destinasi. Namun demikian, dari fenomena yang tampak sampai sekarang ini, sebagai sebuah kasus di Gili Trawangan, pascagempa kondisinya belum pulih sampai sekarang. Dengan kata lain bahwa produk wisata alam untuk sementara waktu sepertinya perlu “diistirahatkan”. Kini giliran produk wisata budaya yang memainkan perannya.

Pariwisata budaya (culture tourism) juga dipandang tepat sebagai alternative produk wisata yang dapat ditawarkan kepada wisatawan. Menurut Suyasa (2019), produk wisata budaya yang dimiliki NTB khususnya Lombok sesungguhnya potensial sebagai salah satu daya tarik wisata. Walaupun dalam pengembangannya, produk yang satu satu ini sering mengundang controversial, sebagai dialektika pariwisata budaya NTB, dimana potensi itu sedang berada dalam persimpangan jalan tanpa arah yang jelas. Pada satu sisi  hasil kebudayaan merupakan “komoditi” utama untuk menarik wisatawan, namun di sisi lainnya aspek keberlanjutannya juga harus dipertimbangkan dengan tidak “mengganggu makna hakiki dari aspek budaya yang ada pada masyarakat NTB.

Untuk dapat mengembangkan budaya sebagai atraksi wisata di daerah memang tidak mudah, diperlukan kerjasama lintas sektoral dan lintas stakeholder pariwisata. Di sinilah Destination Management Organization (DMO) dapat memainkan peran penting dalam membangun dan mengembangkan budaya sebagai bagian yang tidak terpisah dalam system kepariwisataan. Diyakini juga bahwa jika budaya dapat dikemas dengan baik (professional) sebagai sebuah produk wisata maka lama tinggal (length of stay) wisatawan juga pasti meningkat. Selama ini, wisatawan hanya disuguhkan oleh produk wisata alam, walaupun tidak bisa dipungkiri juga bahwa atraksi wisata budaya juga menjadi suguhan meski tata kelolanya belum professional. Artinya, belum melibatkan aspek manajerial dalam pengelolaannya.

Sebagai bahan pemikiran, produk-produk wisata budaya seperti, presean misalnya, belum bisa dimasukkan dalam tour itinerary paket-paket wisata yang ada. Disebabkan karena belum ada jadual pentas yang tepat, seperti (atraksi budaya pariwisata di Bali, Barong dan Kecak Dance). Kalau atraksi-atraksi seperti di Bali itu bisa dijadikan sebagai pelajaran terpetik dengan menciptakan atraksi budaya yang sesuai dengan potensi budaya Lombok, maka aktifitas pariwisata di daerah semakin dinamis.          

Di sinilah pentingnya konektifitas atraksi pada semua level (lokal, nasional, regional, dan internasional). Dengan merujuk pada pengembangan produk wisata yang ada di Bali, maka stakeholder kunci (para seniman) memang harus didukung secara penuh oleh pemerintah daerah dalam bentuk (kebijakan dan financial). Selain, membentuk organisasi-organisasi seni dan budaya yang relevan untuk mendukung aktifitas pariwisata. Dalam hal ini, DMO dapat menjadi penginisiatif dalam membangun dan mengembangkan seni dan budaya sebagai atraksi wisata.     

 Aspek terakhir, ancillary—connectivity di mana menjadi penciri bahwa berkembangnya pariwisata di suatu daerah dapat dilihat dari eksistensi organisasi-organisai, asosiasi, dan kelompok-kelompok pariwisata yang ada. Apalagi kalau organisasi-organisasi tersebut sudah memiliki jaringan pada semua level (lokal, nasional, regional, dan internasional). Sebagai catatan akhir dari tulisan ini, maka penulis mengharapkan stakeholder pariwisata untuk membangun konektifitas (akses, amenitas, atraksi, dan pelengkap) di setiap destinasi pada semua level yaitu, lokal, nasional, regional, dan internasional. Dengan begitu, nilai tambah, keunggulan bersaing dan daya saing destinasi dapat diciptakan.  

Referensi

Lussier, et al., 1994. Measuring global practices: Global strategic planning through

company situational analysis. Business Horizon, 37 (5), 95—116.

Marquardt, M. J., & Snyder, N. 1997. How companies go global—the role of global

integrators and the global mindset. International Journal of Training and Development, 1 (2).

Öztürk, H.E. & Eraydin, A. 2011. Factors of Global Connectivity in Antalya’s

            Tourism. Annals of Tourism Research, Vol. 38, No.4, pp.1300—1321.

Suyasa, 2019. Dialetika Pariwisata Budaya NTB.

Tersedia pada: www. literasi.pariwisata.com. diakses pada tanggal

30/01/2019, pkl.22.44.

UNWTO, 2001. Indicators of Sustainable Tourism Development. Madrid. Spain. 

Check Also

NTB Siap Songsong PON XXII

Penjabat Gubernur Nusa Tenggara Barat, Hassanudin, menyampaikan keyakinannya bahwa Pekan Olahraga Nasional (PON) XXII tahun …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *