Minggu , Desember 8 2024

Lalu Syaukani : Persoalan yang Melahirkan Kreativitas Melukis

Seorang anak di punggung kerbau, pesawat terbang melintas tepat di atasnya dengan warna mencolok, sedangkan di sekelilinginya sapuan warna putih keabuan terbentang. Seorang anak yang cemas memegang kendali yang tidak jelas benar apakah arah yang dituju memberikan suatu harapan ataukah kesangsian ditengah banyaknya pilihan.

Itulah pesan dari karya lukis “Lombok Dream” yang diciptakan Lalu Syaukani tahun 2011. Lahir dari sebuah perenungan yang panjang tentang situasi Lombok yang menjebak masyarakat pada suatu keadaan yang sulit ditafsirkan. Beberapa karya Syaukani pun memunculkan sebuah pemberontakan batin dari suasana yang dialaminya saat ini.

Dengan gaya ekspresionis-impresionisme, Syaukani lebih leluasa menyampaikan kegelisahannya. Berbeda dengan karya-karyanya terdahulu yang berbau turistik alam Lombok dan perempuan Sasak, belakangan Syaukani menjelajah ruang yang lebih luas yang memberinya banyak inspirasi, termasuk ranah hukum yang semrawut – yang disampaikannya dengan penuh penghayatan.

   Ada “Cicak-Buaya” sebagai terjemahan kondisi hukum di Tanah Air yang carut-marut ketika “pertarungan” KPK dan kepolisian terjadi. Ada suatu keadaan tematik tertentu yang harus digambarkannya secara jujur. Di sanalah kepedulian seorang Syaukani yang terbawa pada pilihan sebagai pelukis.

 “Saya sudah memilih, maka pilihan ini harus dilalui secara total,” tegasnya.

Ia pun melukis dengan perasaannya. Situasional memang, itu berdasarkan tema, namun hal itu harus dan terus dilakukan.

Wakili NTB

Syaukani merupakan satu-satunya pelukis yang mewakili NTB dalam Pameran Besar Seni Rupa Indonesia “Manifesto #3” di Galeri Nasional Jakarta 26 April-15 Mei 2012 lalu. Pameran itu sendiri bertajuk “Orde dan Konflik”.

   Karya Syaukani lolos seleksi dari tim kurator yang terdiri dari Rizki A.Jaelani dan Ade Darmawan. Seleksi itu dilakukan pada sebuah pameran seni rupa bertajuk “Tepian Masa” yang berlangsung di Museum Negeri NTB tahun 2011 yang menghadirkan pelukis-pelukis tamu dari Bali, NTT, NTB dan Kalimantan serta sejumlah karya koleksi Galeri Nasional.

Segala jenis seni rupa akan mengikuti pameran bergengsi itu, diantaranya seni patung dan seni tiga dimensi. Bagi Syaukani, keterwakilannya pada berbagai event pameran yang diikuti hanya sebentuk pengakuan dalam membangun akses dimasa datang. Ia sendiri ketika itu mengaku terkejut karyanya bisa menyisihkan karya pelukis kenamaan NTB yang lebih berpengalaman.

    “Mungkin karena tema yang saya ketengahkan mengena di hati kurator,” cetusnya.

   Dalam karya yang bertajuk “Lombok Dream”, Syaukani memotret kegelisahaannya tentang alam Lombok menyusul beroperasinya Bandara Internasional Lombok (BIL) sejak 1 Oktober 2011. Selain ada harapan, terdapat pula kekhawatiran yang diarasakan.

  Disebut harapan, karena keberadaan BIL memungkinkan bagi terbangunnya perekonomian masyarakat dimasa datang. Namun dibalik itu kekhawatiran mengemuka oleh pengaruh yang diakibatkannya. Bahkan kecemasan itu sudah dinyatakan oleh nenek moyang orang Pujut lewat sebuah pesan sejak beberapa tahun lampau.

   Nenek moyang orang Pujut mengatakan, erak kanak lamun wah te bukak lendang, galuh elek bikan paite loek kaok bodak bekelayar. Pade enget dendek lupak, dendek lengah peririk bale lanak, gubuk gempeng, gumi paer.

  Pernyataan itu berarti : kelak anak-anakku kalau sudah dibuka lapangan yang sangat luas di padang rumput nanti akan banyak kerbau putih berkeliaran. Harus kamu ingat, jangan lupa jaga rumah tanggamu, kampung halamanmu dan bumi tempat kamu berpijak.

   Petuah nenak moyang itu menjadi seirama dengan apa yang diketengahkannya. Berbagai nilai-nilai kearifan lokal yang adiluhung, mungkin bisa tercerabut jika tidak hati-hati mewaspadai pengaruh dari luar. Namun itu semua tergantung kemana arah yang dituju oleh ”si penunggang kerbau.

“Sebab kendali ada di tangannya,” cetus Syaukani.

Sarjana Hukum

Dalam kepelukisannya, Syaukani semula gelisah dengan sosok yang cantik dan elok sehingga pada fase awal gairah berkeseniannya tergoda dengan tema perempuan Sasak yang elok. Barangkali ini bagian dari sejarah. Pasalnya, sejak duduk di bangku kelas lima SD, ketika pelajaran dimulai, ia bukannya sibuk belajar sesuai mata pelajaran yang diajarkan, melainkan sibuk menggambar guru yang sedang mengajar siswa. Buku mata pelajarannya penuh dengan gambar.

   Sosok sang ibu merupakan “artis” pembela “politik” keseniannya. Ketika sang ayah begitu keras membatasi ruang gerak kepelukisanya, sang ibu memberikan pembelaan terhadap jalan hidup yang telah dipilihnya itu. Syaukani patuh manakala harus menarik kembali lamarannya di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ketika ayahnya murka dan menginginkannya kuliah di Fakultas Hukum Unram.

   Toh panggilan hati tidak pernah terbeli dengan gelar dan sertifikat yang kemudian diperolehnya, walau ia tunduk pada sebuah tanggung jawab lain. Kesuntukannya justru mencapai totalitas manakala ia memenuhi saran sang ayah lewat standar kesarjanaan. Dan, dalam dekade berikutnya lahirlah Syaukani bergelar sarjana hukum yang bukan pengacara atau penasihat hukum, melainkan Syaukani yang pelukis.

   Syaukani mencoba meretas persepsi pelukis sebagai tukang cat belaka. Ia hidup dalam ruang kehidupan masyarakat dan tidak sekadar memindahkan sesuatu gerak kehidupan menjadi lebih ”abadi”, melainkan menikmati proses sebagaimana ia memindahkan alur kehendaknya melukis.

   Berbagai jenis pameran telah membuka ruang kesasakan dalam bingkai yang universal. Lewat pameran di beberapa hotel berbintang yang hingga kini terus berlangsung, Syaukani melanglang buana ke tahapan lain karena totalitasnya menggumuli makna kreativitas yang luar biasa lahir dari sesuatu yang paling kecil. riyanto rabbah

Check Also

Press Release dari Mata Cinta

Puisi Dienullah Rayes.   1. Wajah dan lesung pipitmu khusus buat sang kekasih bernama suami …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *