MATARAM, Literasi – Pengangkatan unsur Tim Penentu Kebijakan (TPK) pada Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) NTB dipersoalkan sejumlah kalangan seperti Komisi II DPRD dan pengurus Asosiasi Pariwisata di NTB. Pasalnya, SK yang diterbitkan oleh Gubernur Zulkieflimansyah tidak dikonsultasi terlebih dahulu sehingga memunculkan reaksi di tengah-tengah masyarakat.
Direktur Lembaga Kajian Sosial dan Politik M16 Mataram, Bambang Mei Finarwanto, menilai untuk mengakhiri polemik terkait keberadaan BPPD, sebaiknya lembaga itu dibubarkan. Keberadaan lembaga adhoc acap kali menimbulkan dupilikasi kerja dan fungsi Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
“Ketimbang terus ada gontok-gontakan yang tidak ada ujung-ujungnya lebih baik BPPD itu ditiadakan saja. Toh selama ini, apa sih manfaat dari BPPD bagi rakyat NTB, karena yang kita lihat kerjaanya hanya jalan-jalan dan ngabisin uang rakyat melalui APBD saja,” ujar Bambang menjawab wartawan melalui siaran tertulisnya, Jumat (4/1).
Menurut dia, tanpa adanya badan pengelola sekalipun perkembangan pariwisata di NTB tetap berjalan dengan baik. Seluruh pelaku pariwisata di NTB telah melakukan fungsi mereka dalam mempromosikan pariwisata di daerah ini.
Oleh karena itu, peran Dinas Pariwisata dalam mengayomi dan melakukan pembinaan pada organisasi pariwisata di NTB harus mulai dilakukan secara adil, sehingga kesan adanya dugaan bermain dengan salah satu kelompok organisasi pariwisata harus mulai dikurangi.
“Lebih baik urusan pariwisata diserahkan ke pelaku wisata secara swadaya. Nanti, teknisnya Dinas Pariwisata yang jadi lead dalam pembinaanya. Secara pribadi, kami mengatensi kinerja pelaku pariwisata yang sudah lama berkecimpung dalam mengenalkan pariwisata NTB. Salah satunya, Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA) NTB. Jadi, perlu ada reward yang jelas pada organisasi yang telah berperan itu,” jelas Bambang.
Terkait kebijakan meniadakan anggaran bagi BPPD NTB pada APBD 2019, ia mengaku setuju dengan langkah DPRD NTB yang mengalihkan seluruh anggaran promosi pada satu titik terpusat, yakni Dinas Pariwisata.
“Masyarakat akan respek bila pengurus BPPD NTB bekerja tanpa adanya anggaran daerah, tapi mereka bekerja maksimal. Yang enggak top itu jika berbuat untuk kemajuan dan kesejahteraan wisata di NTB tapi dananya dialiri dana APBD NTB,” tegas Bambang.
“Kalau saya ketimbang anggaran dikasih lagi ke BPPD, lebih baik anggaran itu dialihkan permanen untuk membantu korban gempa yang berada di kawasan wisata yang terdampak gempa bumi beberapa waktu lalu itu,” tambahnya.
Diprotes
Sebelumnya, Anggota Komisi II DPRD NTB, TGH Hazmi Hamzar, menyesalkan sikap Gubernur NTB Zulkieflimansyah yang tidak pernah berkoordinasi dan menganggap Komisi II selaku mitranya dalam pembangunan pariwisata di NTB. “Mestinya pihak eksekutif membangun komunikasi sejak awal dengan Komisi II. Apalagi bicara soal penganggarannya nanti. Ingat Komisi II berperan untuk menentukan anggaran untuk BPPD. Lantas kenapa Komisi II tidak diajak dari awal untuk melakukan pembahasan sebelum dilakukan penetapan pengurus BPPD NTB ini. Meskipun soal pengangkatan anggota BPPD itu sepenuhnya menjadi hak prerogatif gubernur, tapi alangkah bijaknya hal itu didiskusikan juga dengan Komisi II. Supaya kita saling menghargai antara kedua lembaga ini,” ujar politisi PPP tersebut.
Menurut Hazmi, penunjukan anggota BPPD ini, tidak secara serta merta hanya dilihat dari satu aspek seperti hanya pada aspek penguasaan bahasa saja. Akan tetapi, orang-orang yang dipilih itu adalah orang-orang yang selain menguasai bahasa asing juga memiliki konsep pemikiran serta pengalaman dalam aspek membangun dunia pariwisata.
“Nah kemampuan-kemampuan seperti inilah yang ingin diketahui oleh Komisi II, sehingga ke depannya ada keyakinan dari kami terhadap kompetensi lembaga BPPD ini dalam mempromosikan pariwisata NTB keluar,” katanya.
Senada dengan Hazmi, sejumlah asosiasi perusahaan perjalanan wisata di NTB menyayangkan keputusan Gubernur Zulkieflimansyah yang menetapkan unsur penentu kepengurusan BPPD tanpa berkomunikasi dengan asosiasi.
“Ada yang salah utusan ASITA. Karena kami tidak pernah dikonsultasikan atau diminta nama. Tapi tiba-tiba, nama mewakili ASITA. Yang mana nama ini tidak memiliki Nomor Induk Anggota ASITA dan sudah lima tahun tidak aktif sebagai anggota,” ujar Ketua Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA) NTB Dewantoro Umbu Joka menjawab wartawan terpisah.
Informasi yang
dihimpun menyebutkan, Gubernur NTB, Dr H
Zulkieflimansyah, melakukan proses reshufle kepengurusan BPPD Provinsi NTB dibawah
Kepemimpinan Fauzan Zakariah yang semuanya diganti kecuali Alfian Yusni
mewakili Media Pers.
Melalui Keputusan Nomor 556-01 Tahun 2019
tertanggal 02 Januari 2019, Gubernur Zul mengganti kepengurusan sebelumnya dengan
Drs Ryan Bachtiar yang mewakili ASITA, Anita Ahmad mewakili PHRI, Christine
Halim mewakili INCCA, Jumadil, M Pd mewakili HPI, Nunung Heri Cahyono mewakili
ASTINDO, Priyadi Nugrahadi mewakili Akademisi, Dr Salahudin Sukamawadi mewakili
Akademisi, Didiet Indrakusuma mewakili Maskapai Penerbangan (Air Asia), dan
Alfian Yusni mewakili Media Pers.
Dewantoro Umbu Joka mengaku sangat menghormati apa yang menjadi keputusan Gubernur NTB untuk merombak kepengurusan lama BPPD dengan kepengurusan yang baru. Hanya saja, pihaknya merasa keberatan ada orang yang mengatasnamakan ASITA, tapi tidak tercatat sebagai anggota ASITA. “ASITA ini organisasi, bukan milik pribadi. Kasihan pak Gubernur, mungkin karena tidak tahu tentang hal ini,” kata Dewantoro Umbu Joka. rul,ds.