Seorang gadis Perancis selalu hadir setiap kali Jatmiko mengelar pameran dari satu gallery ke gallery lain. Mungkin ia salah seorang pengagum, namun ia merasa uangnya tidak cukup untuk membeli satu pun karya lukisan itu. Karenanya, gadis tersebut nampak tercenung seolah menyesali diri. Petugas pun berbisik kepada Miko tentang problem yang dialami gadis tadi?
Adakah sesuatu yang berbeda dari karya Jatmiko, seorang pengelana yang mulai menemukan dunianya di atas lembaran kertas dan kanvas, dibandingkan karya-karya pelukis Perancis? Mungkin gadis itu tahu jawabannya. Manakala ia diberikan kesempatan membeli karya Jatmiko yang sebenarnya tidak dijual – terutama karya yang dilahirkan dari balik penjara – dengan bersemangat ia modar-mandir menyapukan pandangan dari satu karya ke karya lain untuk memilih salah satunya.
Selain karya yang sudah dimilikinya, Miko kerap memajang karya yang dilahirkannya di penjara. Dari balik terali besi, selama setahun masa tahanan pada tahun 2007, Miko bukannya kering kreativitas, malah di sana ia mengalami fase menanjak dalam berkarya. Penjara tidak menyediakan bahan yang cukup, namun justru karena itulah, dengan bahan kertas, pulpen yang seadanya, ia menemukan roh kepelukisannya.
Ketika penghuni lapas mengerjakan keterampilan seperti perbengkelan, las dan lain-lain, Miko justru menyatukan sesuatu yang ada dan membangun struktur yang kuat lewat karya seni dengan gagasan-gagasan lukisan maupun wayang.
“Selama di penjara sekitar 300 karya bisa lahir,” ujarnya.
Apakah ketika yang terpenjara itu tubuh bukan lagi persoalan?
Intensitas Miko di penjara dalam memahami dirinya tidak hanya melahirkan karya, melainkan menciptakan penghormatan di kalangan kawan-kawannya sesama napi dan sipir yang menjaga lapas tersebut. Karya-karya gambar dan lukisan yang dibuat di dalam penjara saat itu dipamerkan di Wiraguna Art Space, Jogja, dengan tajuk “Ketika Api Menjadi Cahaya”
Jatmiko alias Miko Malioboro kini bukan orang biasa. Lewat sebuah asosiasi, karyanya tidak hanya terpajang di penjara, melainkan di gallery ataupun jalan raya di Eropa. Ia menemukan hidup lewat roh kepelukisan, menggaulinya laksana bergerak dan berbicara. Ia punya obsesi untuk menjadi pemandu semangat di lingkungan napi dalam meraih harapan-harapan. Bahwa harapan itu tidak hilang ketika tubuh terkerangkeng. Masih ada ruang yang menjadi dunia tempat memupuk lahan yang sebetulnya tidak dibatasi dinding apapun, sedikit pun.
Nikmatnya penjara sudah dirasakan Jatmiko dalam memandu kreativitas. Setidaknya, ketika masa tahanannya bisa berkurang menjadi 8 bulan karena remisi, Miko justru tidak memanfaatkannya. Dengan sisa 4 bulan yang dijalaninya berdasarkan vonis hakim, ia malah melahirkan sebanyak 200-an karya lagi. Lapas telah menjadi tempat mengasyikkan, tempatnya bercengkerama, memperoleh jaminan kebebasan berekspresi.Walau bajunya napi, kreativitasnya seniman besar.
“Saya ingin memberikan workshop di Nusa Kambangan untuk sebuah pesan bahwa harapan untuk menjadi lebih baik itu ada,” cetusnya beberapa waktu lalu.
Miko tengah mempersiapkan langkah itu menyusul aktifitasnya tiga tahun ke depan bersama seorang dosen filasafat dari Cekoslovakia mengunjungi tempat-tempat unik di Indonesia seperti Trunyan di Bali, goa Maria di Flores, termasuk mengunjungi Lalu Nasib di Lombok. Dosen itu menulis, sedangkan Miko melukiskan apa yang dikunjunginya. Hasilnya nanti adalah sebuah karya yang dibukukan.
Oase di Tengah Padang Gersang
Selama mengunjungi Negara-negara di Eropa Timur, ada sesuatu yang membuat Miko cemburu, diantaranya menyangkut apreasiaasi masyarakat terhadap karya seni. Ketika suatu kali Miko ditangkap polisi karena sebuah kesalahan berlalu lintas, dan pada saat itu dikatatan bahwa ia tengah mengadakan sebuah kegiatan seni, polisi itu menjadi tertunduk akrab dengannya.
Mengapa itu bisa terjadi? Di banyak Negara di Eropa, museum selalu dikunjungi anak-anak. Sehingga,anak memahami karakter bangsanya, dan mendalami kesenian sebagai media ekspresi. Setiap pementasan teater, pengunjung pun antre menunggu tiket.
Ternyata kesenian membasuh kepenatan mereka bekerja sehari-hari. Tidak mengherankan, kehadiran Miko dengan misi kesenian diterima dengan lapang dada.
Kadangkala muncul diskusi dengan mereka. Suatu kali terjadi dialog tentang Indonesia, yang dianggap sebagai Negara kecil dan miskin. Miko membela diri denga mengatakan Indonesia itu besar. Tanahnya emas dan tembaga, lautnya kaya dengan berbagai jenis ikan, bunganya beraneka ragam.
“Namun mengapa Indonesia miskin?” begitu warga Perancis berkata.
“Itu karena pejabatnya korup,” tandas Miko. Dialog pun terhenti.
Suatu kali Miko memberi judul karyanya “Setiap Hari adalah Minggu”. Seorang pengunjung berargumam,”nonsens” – mungkin karena kepenatannya bekerja. Miko merasa senang karena pesan yang ingin ia sampaikan itu berhasil.
Selain melakukan pameran tahun 2001 dan tahun 2004, penggagas Purnama di Malioboro itu pun melakukan pameran tunggal di Maison at Object, Paris dengan tajuk “Way Out”. Belakangan ia aktif berpameran di Negara-negara Eropa Timur. Karyanya memiliki ukuran yang variatif, besar dan kecil,hasil ia memotret segala sesuatu dengan hatinya.
Miko, memang melanglang buana, Mataram-Yogya, berbagai negara. Ketika suatu saat ia nampak, kadang hanya sesaat saja. Hubungan komunikasinya yang cepat mempersingkat waktu. Kadang jika alat telekomunikasinya bermasalah, itu menjadi siksaan baginya.
Sebutlah manakala handphonennya suatu kali jatuh ke dalam klosed. Ia menceritakan dengan tidak begitu bersemangat. Ada kegerahan pada ekspresi wajahnya seolah mengalami jalan buntu, sesuatu yang terputus. riyanto rabbah.